Sekolah Pascasarjana | Menduniakan Islam Indonesia
15661
post-template-default,single,single-post,postid-15661,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,side_area_uncovered_from_content,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-13.1.2,qode-theme-bridge,wpb-js-composer js-comp-ver-5.4.5,vc_responsive

Menduniakan Islam Indonesia

Menduniakan Islam Indonesia

Oleh Masykuri Abdillah

Posisi geografis Indonesia di Asia Tenggara yang jauh dari pusat Islam di Jazirah Arab menimbulkan asumsi bahwa Islam di Asia Tenggara adalah pinggiran (periferal). Namun sebenarnya ekspresi Islam di wilayah ini memiliki karakteristik dinamis yang tidak sama dengan di Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Karakteristik Islam di Asia Tenggara, terutama Indonesia, pada dasarnya adalah Islam yang ramah (damai), moderat, dan toleran. Sementara banyak negara Muslim di luar wilayah ini diwarnai oleh sistem pemerintahan yang otokratis/otoriter serta terjadinya kekerasan, konflik dan perang, terutama yang dialkukan ISIS dan Al-Qaedah. Hal ini terjadi karena ekspresi keagamaan tidak terlepas dari pemahaman doktrin serta karakter, tradisi dan budaya penganutnya.

Kini Indonesia bahkan dinilai sebagai negara Muslim paling toleran dan paling demokratis di dunia. Banyak pihak yang mengharapkan Indonesia dijadikan sebagai model negara Muslim modern yang demokratis. Karenanya, diperlukanupaya-upaya pengembangannya secara aktif, sehingga bangsa Indonesia tidak hanya menjadi obyek tetapi juga subyek globalisasi.

Islam Rahmah-Wasathiyyah

Di samping kondisi yang sangat positif tersebut, diakui juga, bahwa di era reformasi ini muncul pula gejala menguatnya aliran-aliran atau gerakan-gerakan Islam dari luar Indonesia, sejalan dengan proses globalisasi yang secara umum tidak bisa dielakkan. Sebagian dari aliran-aliran atau gerakan-gerakan itu, terutama kelompok puritan, radikal dan ekstremis, telah merusak karakterisitk Indonesia yang damai, moderat dan toleran, yang berujung pada terjadinya kasus-kasus terorisme, kekarasan dan intoleransi beragama. Bahkan konflik di Timur Tengah pada saat ini, terutama di Irak, Suriah dan Yamanyang notabenemelibatkan Salafi/Wahhabi di satu pihak dan Syi’ah di pihak lain, ikut berpengaruh tehadap munculnya ketegangan-ketegangan tertentu di negara ini.

Untuk merespons perkembangan tersebut, sejumlah tokoh dan organisasi Islam telah melakukan upaya-upaya penguatan pemahaman Islam yang moderat dan wawasan kebangsaan yang. Salah satu ormas Islam, yakni Nahdlatul Ulama (NU), bahkan menegaskan kembali perlunya mempertahankan karakteristik Islam di negara ini dengan istilah “Islam Nusantara”, meski istilah ini bukanlah istilah baru. Hal ini karena Islam di Nusantara selama ini telah menunjukkan Islam yang ramah, moderat dan toleran.

Namun demikian, agar karakaterisasi Islam itu bisa diterima oleh Muslim di luar Indonesia, diperlukan istilah yang bersifat universial dan berasal dari al-Quran, Dalam hal ini saya cenderung menggunakan istilah “Islam Rahmah-Wasathiyyah”. Kata “rahmah” (berarti kasih sayang atau ramah)yang berasal dari kata “rahmatan li al-‘âlimîn”, merupakan karakteristik agama Islam, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Anbiya’: 107. Kata ini dijadikan sebagai karakteristik Islam yang telah dikumandangkan ke penjuru dunia oleh International Conference of Islamic Scholars(ICIS) sejak 2004.

Sedangkan “wasathiyyah” (berarti moderasi), merupakan karakteristik umat Islam, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 143. Istilah “Islam wasathiyyah” inidiajdikan sebagai tema Munas MUI ke-9 tahun 2015 di Surabaya sebagai karakteristik Islam yang harus dijaga dan dikembangkan di Indonesia.Sebelumnya, Muktamar NU ke-33 dan Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 ini juga menegaskan perlunya menjaga dan mempromosikan Islam moderat ini.

Secara empiris, karakteristik Islam yang damai dan moderat ini dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama, dalam konteks hubungan antara warga, umat Islam di wilayah ini sangat toleran terhadap kelompok lain; kedua, dalam konteks hubungan antara Islam dan negara, umat Islam akomodatif terhadap ideologi negara dan sistem demokrasi. Ketiga, dalam konteks kehidupan dan perkembangan dunia, umat Islam dapat menerima modernisme meski tetap memiliki orientasi keagamaan.

Peran Tokoh Agama dan Universitas

Banyak pemimpin Muslim di berbagai negara, para pemimpin politik dari negara-negara Barat, dan pengamat internasional (terutama Indonesianis) menyarankan kepada negara-negara Muslim di dunia akan pentingnya belajar dari Islam Indonesia. Pemerintah dan sejumlah tokoh organisasi Islam di Indonesia menyadari akan hal ini, dengan berbagi pengalaman dengan para tokoh umat di negara-negara lain. Dalam konteks ini, pemerintah (Kementerian Luar Negeri dan Kementeriaan Agama) telah menginisiasi penyelenggaraan dialog antaragama (iinterfaith dialogue) baik tingkat internasional maupun regional, multilateral maupun bilateral.

Dialog dengan tema The First ASEM Interfaith Dialogueyang awalnya diselenggarakan di Bali pada 2005 itu kini sudah banyak dilakukan di berbagai negara di dunia. Pemerintah bahkan menjadikan dialog ini sebagai program unggulan dalam diplomasi publik yang merupakan second track diplomacy, dengan melibatkan paraintelektual dan tokoh berbagai organisasi keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Mereka bisa menjelaskan dan memberikan testimoni tentang kondisi obyektif dan pengalaman kehidupan beragama di Indonesia yang damai dan toleran.

Di samping itu, sejumlah tokoh dan organisasi Islam, terutama NU dan Muhammadiyah, juga telah menyelenggarakan forum-forum internasional dengan berbagai tema, baik terkait dengan perlunya pemahaman Islam yang damai dan moderat, maupun terakit dengan upaya memajukan umat dan mengatasi persoalan yang dihadapi mereka. Forum-forum seminar internasional tentang hal ini juga dilakukan oleh sejumlah perguruan tinggi Islam di negara ini.

Pertemuan-pertemuan internasional dengan mengundang ulama dan tokoh-tokoh Islam di dunia itu telah memberikan pemahaman yang benar tentang Islam di Indonesia. Semula banyak dari mereka menganggapIslam di Indonesia sebagai Islam sinkretis, yang bercampur dengan syirik, bid’ah, dan khurafat, tetapi kini mereka memahami bahwa Islam di Indonesia dalam hal aqidah dan ibadah sama dengan yang dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam di dunia. Yang agakberbeda adalah ekspresi keagamaan dalam kehidupan masyarakat dan negara, yang notabene lebih damai dan toleran dari pada di umumnya negara-negara Muslim. Ekspresi yang demikianini menimbulkan keinginan banyak dari mereka untuk mempelajarinya dan mencontohnya.

Hal tersebut juga mendorong keinginan banyak pemuda Muslim di seluruh dunia, baik dari negara-negara mayoritas Muslim maupun negara-negara minoritas Muslim,untuk belajar Islam di negara ini. Saat ini sudah ada sejumlah mahasiswa asing yang belajar Islam di Indonesia, baik yang mendapatkan beasiswa dari Kemenag maupun yang mandiri. Namun jumlah mereka masih sedikit, karena jumlah beasiswa untuk hal ini memang sangat sedikit dan nilainya pun sangat terbatas. Pada hal ada negara-negara yang pendapatan perkapita rakyatnyasebenarnya lebih rendah dari Indonesia tetapi memberikan banyak beasiswa kepada mahasiswa internasional (asing). Pemberian beasiswa ini merupakan bagian dari diplomasi publik yang dilakukan oleh mayoritas negara di dunia. Hal ini karena para penerimanya diharapkan bisa memperkuat hubungan antar kedua negara pemberi beasiswa dan negara asal penerima beasiswa, terutama karena penerimanya bisa menjelaskan tentang budaya masyarakat dan negara pemberi beasiswa.

Ke depan upaya menduniakan Islam Indonesia itu akan semakin berhasil jika didukung juga anggaran biaya yang mencukupi. Anggaran biaya ini diperlukan untuk meningkatkan program diplomasi people to people (P to P) yang melibatkan para tokoh dan organisasikeagamaan. Dana ini juga diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi dengan standar internasional, termasuk kualitas penelitian serta publikasi buku dan jurnal dalam bahasa dunia, di samping untukbeasiswa (program S2 dan S3) bagi mahasiswa asing dan rekrutmen dosen internasional. Untuk merealisasikan hal ini, tidak diperlukan lagi pendirian universitas baru, tetapi cukup memperkuat mandat dan dana yang memadahi bagi universitas-universitas yang sudah ada.

*Artikel ini telah dimuat di harian Republika, 19 Desember 2015. Masykuri Abdillah, Guru Besar/Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.