Sekolah Pascasarjana | Membendung Politisasi Agama
19353
post-template-default,single,single-post,postid-19353,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,side_area_uncovered_from_content,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-13.1.2,qode-theme-bridge,wpb-js-composer js-comp-ver-5.4.5,vc_responsive

Membendung Politisasi Agama

Membendung Politisasi Agama

Secara sosiologis agama merupakan pranata sosial yang diekspresikan oleh pemeluknya dalam bentuk sikap dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari. Bryan S. Turner menyebutkan bahwa agama memiliki fungsi-fungsi antara lain: (1) sebagai kontrol sosial (2) sebagai acuan legitimasi politik, dan (3) sebagai perekat sosial (solidaritas sosial). Fungsi-fungsi ini terjadi dalam masyarakat sebagai nilai-nilai dan norma-norma sosial walaupun tanpa keterlibatan negara, sehingga fungsi-fungsi ini juga terjadi di negara-negara sekuler.

Kedudukan agama di negara Indonesia ini sangat penting, karena Pancasila sebagai ideologi negara menunjukkan, bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler walau tidak bisa juga disebut sebagai negara agama. Secara kelembagaan, negara Indonesia dibangun seperti lazimnya negara modern sekuler, tetapi secara filosofis, negara ini didasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

 

Agama dan Politik

Pelibatan agama dalam politik oleh penganutnya dimaksudkan untuk: (1) mengawal agar politik sesuai dengan etika dan ajaran agama, (2) melegitimasi aspirasi dan prilaku politik dengan ajaran agama, dan (3) membangun identitas dan solidaritas sosial. Karena di sebagian besar negara di dunia, agama tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari negara, maka agama pun tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari politik dan sebaliknya. Pelibatan agama dalam politik tidak bertentangan dengan demokrasi, dan hal ini pun terjadi di negara-negara Barat yang notebene sekuler.

Hampir semua negara mayoritas berpenduduk Kristen terdapat partai-partai Kristen, seperti di Argentina, Australia, Belgia, Belanda, Brazil, Inggris, Italia, Jerman, Norwegia, dan sebagainya. Bahkan partai Kristen juga terdapat di Perancis dan Amerika Serikat, meski di kedua negara ini partai agama tidak berkembang, yakni Christian Democratic Party (Parti chrétien-démocrate, PCD) yang didirikan pada 2001, dan American Solidarity Party (ASP) yang didirikan pada 2011. Di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Islam juga terdapat partai-partai agama, seperti di Aljazair, Indonesia, Malaysia, Mesir, Pakistan, Tunisia, dan sebagainya. Di negara-negara mayoritas Hindu juga terdapat partai Hindu, dan di sebagian besar negara mayoritas Buddha juga terdapat partai Buddha.

Dalam konteks Indonesia, pada masa penjajahan, doktrin agama tentang jihad, misalnya, dipergunakan sebagai alat legitimasi perjuangan melawan penjajah. Demikian pula, di masa-masa awal kemerdekaan, dibentuk partai politik yang berdasarkan agama, yakni Partai Masyumi (Islam), Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Pada masa Orde Baru partai agama memang tidak diperbolehkan, sejalan dengan kebijakan pemerintah “de-ideologisasi politik” dan “de-politisasi agama”. Namun demikian, agama tetap dipergunakan untuk melegitimasi program-progran pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah. Di era reformasi ini partai politik berdasarkan agama diperbolehkan kembali, sejalan dengan pembangunan sistem demokrasi yang substantif dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.

Pelibatan agama dalam politik dimaksudkan agar politik sesuai dengan etika dan ajaran agama, terutama ketika kondisi etika-moral politik pada saat ini secara umum masih sangat lemah, baik dalam persaingan untuk memperoleh kekuasaan maupun dalam penggunaan kekuasaan. Problem etika moral ini misalnya dapat dilihat dari masih banyaknya kebohongan publik, korupsi, manipulasi, egoisme, kebencian, penyalahgunaan wewenang, dan sebagainya.

Bagi warga yang memiliki orientasi keagamaan yang tinggi, segala prilaku, budaya, serta sistem hukum dan politik sedapat mungkin sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Dalam konteks ini agama menjadi alat legitimasi bagi prilaku dan orientasi politik seseorang. Oleh karenanya, aspirasi politik mereka tidak hanya dadasarkan atas pemenuhan kebutuhan-kebutahan dasar manusia, tetapi juga pemenuhan kebutuhan spiritual (keagamaan).

Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi fenomena di dunia, bahwa fungsi ketiga tersebut, yakni membangun identitas dan solidaritas sosial secara sempit, sangat menonjol untuk mendapatkan kekuasaan, yang terintegrasi dengan politik identitas dan populisme. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di luar Indonesia, termasuk negara-negara demokratis sekuler. Pelibatan agama dalam politik yang demikian ini kemudian disebut sebagai politisasi agama yang borkonatasi negatif dan dinilai tidak sejalan dengan etika demokrasi.

 

Politisasi dan Pencegahannya

Keterlibatan agama dalam politik dapat dibedaaan antara legitimasi keagamaan dan politisisasi agama. Legitimasi keagamaan adalah penggunaan agama sebagai alat untuk memperkuat pemikiran dan tindakan seseorang atau suatu kelompok, baik dalam bentuk aspirasi politik, keputusan politik, atau gerakan politik melawan kezaliman. Sedangkan politisasi agama adalah penggunaan agama atau simbol-simbol agama sebagai alat untuk mendapatkan tujuan-tujuan politik atau untuk memobilisasi massa dalam memenangkan calon tertentu dalam pemilihan jabatan publik.

Penggunaan agama dalam politik disebut politisasi agama, jika pelibatan agama dalam politik dilakukan: (1) berdasarkan dalil-dalil keagamaan atau argumentasi yang bersifat diperselisihkan (khilafiyah), (2) penggunaan agama disertai kampanye negatif, kebencian dan/atau permusuhan terhadap lawan politik, (3) berorientasi hanya kepentingan kelompok, dan mengabaikan kepentingan nasional.

Dengan demikian, jika penggunaan ajaran agama itu merupakan ajaran agama yang absoulut (qath’i), maka pelibatan agama dalam politik tidak bisa disebut politisasi agama. Tentu saja dengan syarat, jika hal ini disampaikan dengan santun dan tidak disertasi dengan kampanye negatif atau ujaran kebencian terhadap lawan politik dan tetap berorientasi kepada kepentingan umum (nasional). Namun, jika penggunaan agama ini disertai dengan kebenciaan terhadap calon lainnya yang berbeda orientasi politik atau agama mereka, maka hal ini merupakan politisasi agama.

Politisasi agama dalam dua dasawarsa terakhir ini semakin kuat, sebagai cara cepat untuk mendapatkan dukungan lebih besar dari publik, baik karena dalam kompetisi politik maupun alasan legitimasi faham keagamaan suatu kelompok. Partai Keadilan dan Kebebasan (Hizb al-‘Adâlah wa al-Hurriyah) dan Partai al-Nour (Hizb al-Nûr) di Mesir, misalnya, dapat memenangkan pemilihan umum tahun 2013 di Mesir setelah terjadi Arab Spring pada 2012 terutama karena faktor politisasi agama ini.

Politisasi agama juga terjadi di negara-negara Barat sekuler yang dalam banyak kasus terintegrasi dengan politik identitas dan populisme, dan bahkan Islamofobia. Di Amerika Serikat, agama juga dijadikan sebagai alat legitimasi dan bahkan politisasi dalam pemilu, terutama untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok konservatif dan fundamentaslis. Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016 lalu tidak terlepas dari politisasi agama dalam kampanyenya, terutama politik anti-Islam (Islamofobia) dan anti-imigran.

Demikian pula, penambahan suara atau kemenangan pendukung partai-partai kanan di Eropa Barat dalam pemilihan umum juga tidak terlepas dari politisasi agama. Partai-partai sayap kanan itu antara lain: National Front Party di Perancis dengan tokohnya Marine Le Pen, The Party for Freedom di Belanda dengan tokohnya Geert Wilders, dan  Danish People’s Party dengan tokohnya Pia Kjarsgaard. Austria adalah negara yang saat ini pemerintahannya dikuasai oleh partai sayap kanan, yakni Austrian People’s Party dengan tokohnya Sebastian Kurz.

Penggunaan isu-isu agama (politisasi agama) dalam pemilihan di Indonesia juga terjadi di Indonesia, terutama pada masa kampanye Pemilihan Presiden (Piplres) 2014 dan juga pada Pilkada DKI 2016. Belum lama ini untuk menghadapi pemilu 2019 mendatang muncul ungkapan tokoh politik yang bisa disebut sebagai politisasi agama. Partai-partai yang tergabung dalam kelompoknya adalah Partai Allah (hizb Allâh) dan disebut juga Poros Mekah, sedangkan partai-partai yang tergabung dalam kelompok lain adalah Partai Setan (hizb al-syaithân) dan disebut juga Poros Beijing.

Untuk melakukan pencegahan politisasi agama diperlukan upaya-upaya pelurusan pengertian dan batasan pelibatan agama dalam politik serta pelurusan pemahaman keagamaan yang dipergunakan untuk politisasi agama. Dalam hal ini, ungkapan bahwa agama harus lepas sama sekali dengan politik tentu saja kurang tepat, karena Indonesia adalah negara Pancasila, yang sangat menghormati kedudukan agama.  Agama bahkan sering dilibatkan dalam legitimasi politik untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut di atas. Namun, pelibatan agama dalam politik ini perlu diekspresikan dengan santun dan tidak mencampuradukkan antara kepentingan politik praktis dan agama, sehingga pelibatan agama ini tidak menimbulkan perpecahan, kebencian dan konflik SARA.

Di samping itu, diperlukan pula kesadaran semua pihak, terutama tokoh politik, tokoh organisasi keagamaan dan tokoh agama, akan pentingnya selalu menjaga persatuan bangsa, dan bahwa politisasi agama akan merendahkan posisi agama hanya sebagai alat memperoleh kekuasaan. Dalam konteks ini, ajaran Islam sebenarnya sudah jelas menyatakan keharusan berbuat adil termasuk terhadap kelompok yang tidak disukai (Q.S. al-Maidah: 8), larangan komersialisasi atau manipulasi ayat al-Quran (Q.S. al-Baqarah: 41), larangan fitnah dan adu domba (Q.S. al-Qalam: 10-11 dan Q.S. al-Lumazah: 1), dan larangan mengolok-olok atau membenci kelompok lain (Q.S. al-Hujurat: 11 dan al-An’am: 108).

*) Masykuri Abdillah, Guru Besar dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Rais Syuriyah PBNU.

*Artikel ini sudah dimuat di Harian KOMPAS pada 20 Juli 2018

 

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.