Beragama dan Bernegara yang Berdampak
Ferdian Andi, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Menteri Agama Nasaruddin Umar menerbitkan sejumlah kebijakan di bidang keagamaan yang beririsan dengan isu publik yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No 244 Tahun 2025 tentang Program Prioritas Menteri Agama 2025-2029.
Misalnya, soal kurikulum cinta, ekoteologi, layanan keagamaan berdampak, hingga trilogi kerukunan jilid II yang terdiri atas kerukunan antar sesama manusia, kerukunan manusia dengan alam semesta, dan kerukunan manusia dengan Tuhannya.
Poin menarik dari ragam kebijakan tersebut adalah terdapat benang merah kuat tentang ikhtiar menjadikan agama sebagai faktor penting dalam proses pembangunan bangsa ini.
Mulai soal pendidikan, lingkungan, hingga dorongan lahirnya harmoni antara manusia, lingkungan, dan Tuhannya. Poin itu tampak kontekstual di tengah defisitnya nilai moralitas di ruang publik kita.
Kehidupan keagamaan dan kenegaraan di Indonesia dalam konstruksi hukum konstitusi sejatinya berjalin kelindan satu dengan lainnya.
Model itu kerap disebut dalam relasi akomodatif atau simbiotis antara satu entitas dan entitas lainnya. Hubungan agama dan negara tidak lekat, tetapi keduanya rekat.
Model hubungan ini bukanlah representasi negara agama (teokrasi). Sebab, faktanya agama tidak menjadi dasar dalam pengelolaan negara. Tak tepat pula meyebutnya sebagai negara sekuler.
Faktanya, negara mengakomodasi aspirasi umat beragama yang dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan publik (public policy) yang beririsan dengan kerja-kerja administrative negara.
Sayangnya, model relasi agama simbiotis atau akamodatif tersebut disimplifikasi dalam bentuk fasilitasi negara bagi kehidupan umat beragama di Indonesia.
Penghormatan negara terhadap agama diwujudkan dalam bentuk layanan negara kepada warga negara dalam mengekspresikan keagamaan dan keyakinan warga. Pola itu menampakkan sisi formal relasi agama dan negara.
Idealnya, dalam pola relasi itu, agama ditempatkan sebagai kumpulan nilai yang memandu pengelolaan penyelenggaraan negara. Agama memandu lahirnya kesalehan sosial yang berdimensi substansial yang muncul dari nilai agama. Pola itu menampakkan sisi material dalam relasi agama dan negara.
Model tersebut tak lain juga merupakan manifestasi dari identitas konstitusi (constitutional identity), yang dalam pandangan Gary Jeffrey Jacobshon (2006) menempatkan agama dan budaya lebih mengakar dari dokumen konstitusi itu sendiri. Apalagi, konstitusi kita menampilkan wajah godly constitution atau konstitusi yang berketuhanan.
DARI ARTIFISIAL KE SUBSTANSIAL
Sisi material, relasi agama dan negara mesti senantiasa diikhtiarkan untuk melahirkan ruang publik yang berkeadaban. Dasarnya spirit kemanusiaan, persamaan, keadilan, menjunjung tinggi integritas ruang publik. Nilai luhur agama menjadi pemandu dalam interaksi sosial.
Pengejawantahan nilai agama di ruang publik itu secara efektif dapat dioperasionalkan pemerintah melalui serangkaian program kerja yang memanggungkan spirit agama.
Agama menjadi bagian penting dalam skema penyelesaian persoalan di ruang publik. Kedudukan agama menjadi instrumen efektif dalam mengatasi masalah publik.
Operasional nilai agama di ruang publik di satu sisi menampakkan sisi materialnya dalam relasi agama dan negara. Agama ditempatkan sebagai pemandu nilai dalam tata kelola ruang publik bernegara.
Relasi agama dan negara tidak sekedar tampil dari sisi formalnya, yang selama ini dominan tampil di ruang publik. Padahal, model relasi itu bersifat artifisial dan temporal yang tak menyentuh sisi substansialnya.
Transformasi agama dari artifisial ke substansial membutuhkan kesadaran dan komitmen bersama, khususnya dari penyelenggara negara.
Negara, sebagaimana saat tampil dalam relasi formal dengan agama, mesti mengambil peran dan inisiasi aktif untuk memanggungkan nilai dan spirit agama sebagai salah satu instrumen pemandu keadaban ruang publi bernegara.
Ragam persoalan yang muncul di ruang publik dipelbagai sektor, hakikatnya, disebabkan absennya integritas di ruang publik. Sikap malu, tak acuh, dan tak peduli atas tindakan yang keluar dari norma etik telah dinormalisasi sehingga menjadikan integritas tak lagi dianggap faktor penting.
Pada poin itulah, agama mengambil peran sebagai pernangkat nilai yang mempromosikan sekaligus memandu integritas publik.
Di sisi yang lain, penyelenggara negara, baik di tingkat vertikal maupun horizontal, mesti menjadi pelopor dan sekaligus agen utama dalam memanggungkan nilai agama yang mewujud dalam sikap, perilaku, dan kebijakan publik.
Bukan tanpa alasan sikap demikian. Para penyelenggara negara saat dilantik dan diambil sumpah jabatan, mereka bersumpah atas nama Tuhan. Peristiwa yang merepresentasikan aktivitas kenegaraan yang sekaligus berdimensi transendental.
AGAMA YANG BERDAMPAK
Masuknya frasa agama atau diksi yang semakna (constitutionalization of religion) dalam UUD 1945 bukanlah tanpa makna.
Apalagi, bila melihat perdebatan para pendiri bangsa (the founding fathers) 80 tahun silam, saat perumusan undang-undnag dasar (UUD) baik Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan (BPUPK) termasuk saat mencapai titik temu dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI).
Penempatan agama dalam UUD 1945 mesti dimaknai secara mendasar sebagai refleksi atas potret sosiologis dan politis masyarakat Indonesia.
Keberadaan agama diskursus kenegaraan dan kebangsaan mesti dimaknai sebagai bagian penting dalam pelaksanaan mandat konstitusi yang menjamin kebebasan warga negara dalam memeluk dan mengekspresikan agama dan keyakinannya.
Lebih dari itu, agama mesti turut berkontribusi dalam menjawab persoalan yang mengemuka di ruang publik. Persoalan mendasar di runag publik seperti pendidikan, Kesehatan, lingkungan, ekonomi, kemiskinan, hingga hukum mesti menjadi perhatian agama yang pada titik ideal menjadi pemandu etik atas ragam persoalan di ruang publik.
Agama yang kerap dimetaforakan berada dilangit mesti diturunkan ke bumi untuk berdialektika dengan persolan nyata di tengah masyarakat. Keberadaan agama tidak sekedar dipanggungkan pada ritual yang berdimensi seremonial yang sarat gebyar.
Lebih dari itu, keberadaan agama harus dirasakan dampaknya yang tak sekedar pada dimensi batin para pemeluknya. Keberadaan agama harus berdampak pada individu, sosial, bahkan negara.
Terobosan yang belakangan muncul dari Kementerian Agama menjadi pintu pembuka untuk menghadirkan agama yang berdampak bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dimensi agama yang kerap diasosiasikan pada aspek transendental dan adiduniawi harus ditransformasikan dalam runag profan yang meniscayakan munculnya dialektika.
Agama yang berdampak dapat diukur melalui pendekatan kualitatif, bahkan kuantitatif. Apalgi, di era digital seperti saat ini, Gerak negara secara terbuka dapat dilihat transparan oleh publik.
Saatnya, beragama dan bernegara yang berdampak, yang berarti taka da lagi praktik intoleransi atas nama agama, diskriminasi atas nama agama, dan tindakan penyalahgunaan wewenang.(JA)
Artikel ini telah tayang di Opini Disway dengan judul "Beragama dan Bernegara yang Berdampak", Sabtu, 20 Juli 2025.