Memaknai Usia Satu Abad Nahdlatul Ulama
Memaknai Usia Satu Abad Nahdlatul Ulama

JAKARTA- Pada 7 Februari 2023, Nahdhatul Ulama memasuki satu abad, usia ormas yang paripurna. Peringatan seratus tahun (satu Abad) ini, bukan semata perhelatan seremonial NU yang telah hadir dari masa ke masa, melainkan juga menjadi refleksi apa yang perlu NU wujudkan ke depan.

Satu abad bisa dimaknai sebagai era perubahan untuk kemajuan NU sebagai jami’iyyah (perkumpulan) sekaligus sebagai gerakan (harakah) untuk Islam, Indonesia dan Dunia. Sepeninggal tokoh sentral NU Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Yahya Cholil Tsaquf (Gus Yahya) sebagai penerus kepemimpinan NU saat ini telah memasuki era penting dalam hal keagamaan, kebangsaan dan isu global. Momentum usia 100 tahun NU juga disebut Gus Yahya sebagai momentum era kebangkitan baru bagi NU. Gus Yahya tampaknya telah menangkap pesan-pesan itu setelah lama mendampingi dan bergumul dengan pikiran-pikiran Gus Dur.

Di era Gus Yahya, NU memerlukan rancangan dan langkah strategis ke depan dengan nuansa dan paradigma modern sebagai upaya membangun dan meneguhkan halaqah peradaban. Di sini kita akan melihat bagaimana NU setelah satu abad.

Refleksi keagamaan dan kebangsaan

Sejak berdiri 1926, Nahdhatul Ulama adalah salah satu organisasi keagamaan yang punya andil penting terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia. Peran kebangsaan NU dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sangat menonjol sejak awal kemerdekaan hingga saat ini.

Sebagai contoh, NU menolak keras gerakan Darul Islam yang dipimpin Kartosoewirjo 1940-an. KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) dan para ulama NU menyebut DI sebagai bughot (pemberontakan) yang harus dibasmi karena bertentangan dengan persatuan dan kesatuan bangsa.

Ketika Wahabisme berkembang di Arab Saudi pada 1700-an kemudian menyebar ke Indonesia di awal 1900-an dengan propaganda anti bidah, seperti anti bermazhab dan penghancuran peninggalan Islam dan pra-Islam, NU di garis depan melawan arus ini, di tengah gerakan wahabi disambut baik oleh Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dipimpin H O S Tjokroaminoto.

Akibat dari perbedaan haluan ini, NU dikeluarkan dari anggota Kongres al-Islam di Yogyakarta 1925, dan tidak dilibatkan sebagai delegasi Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Sebaliknya, NU membuat tim delegasi yang dikenal dengan komite Hijaz yang diketuai KH Abdul Wahab Chasbullah untuk mengusung kebebasan bermazhab dalam ibadah di Makkah dan mengusulkan agar makam Nabi Muhammad SAW di Madinah tidak dihancurkan.

Kedua usulan ini diterima dan hingga kini kita menyaksikan lestarinya makam Nabi Muhammad SAW dan keragaman praktik bermazhab di Makkah. Itulah peran awal NU di kancah internasional dalam menjaga warisan keagamaan dan peradaban Islam.

Sebagai organisasi Islam yang menjaga tradisi sunnah Nabi Muhammad SAW dan para ulama, NU membangun konsep keberagamaan dengan berdasar pada tiga fondasi yaitu amaliyah, fikrah (ideologi), dan harakah (gerakan).

Prinsip amaliyah adalah praktik keagamaan dan sosial yang didasari pada Alquran dan Sunnah, dan tradisi para ulama salaf yang terangkum dalam ajaran ahlu sunnah wal-jama’ah. Sementara fikrah mengusung nilai-nilai dasar tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), tawaazun (seimbang), dan ‘adalah (adil).

Hingga saat ini, garis pemikiran NU ini terefleksikan dalam merespon berbagai kontestasi ideologi, perubahan sosial dan keagamaan di Tanah Air. Dalam hal gerakan, NU berkepentingan untuk terus melakukan kerja-kerja penguatan ideologi, ekonomi dan SDM warganya, sebagaimana khittahnya yang juga selaras dengan penguatan prinsip NKRI dan Pancasila.

Sumber: https://www.republika.co.id/berita/roxln4320/memaknai-usia-satu-abad-nahdlatul-ulama

Tag :