Ramadhan, Konstitusionalisasi Agama, dan Bernegara Otentik
Ramadhan, Konstitusionalisasi Agama, dan Bernegara Otentik

Ibadah puasa Ramadhan telah memasuki pekan ketiga. Selain aspek spiritual, ragam dimensi muncul dari ritual keagamaan ini, seperti aspek sosial, ekonomi, bahkan kenegaraan.

Ragam dimensi tersebut lantaran ibadah yang melibatkan masyarakat secara kolosal ini terjadi di negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Tentu, dampak sosial ekonominya tak terelakkan, selaras dengan beroperasinya hukum ekonomi: supply and demand.

Selain itu, puasa Ramadhan juga memiliki dimensi individual dan sosial. Dimensi individual merupakan perwujudan ketaatan seorang hamba kepada perintah Tuhannya untuk mencapai derajat tertinggi sebagai manusia yang bertakwa.

Di sisi lain, puasa Ramadhan juga memiliki dimensi sosial yang direpresentasikan melalui ragam perbuatan yang berkorelasi dengan aspek sosial.

Indonesia menjadikan agama salah satu isu penting dalam konstitusi (constituzionalization of religion). Praktik konstitusionalisasi agama ini memberi pesan kuat tentang komitmen negara melalui pengakuan, perlindungan, sekaligus jaminan kebebasan bagi umat beragama dalam memeluk agama dan kepercayaannya (Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945).

Pada titik ini, eksistensi negara tidak berada di ruang hampa dari nilai-nilai agama (ketuhanan) dalam aktivitas di ruang publiknya. Persinggungan (aktor) negara dengan agama dalam kenyataannya berjalan beriringan dalam koridor yang melahirkan kesepahaman dan kesalingmengertian satu dengan lainnya.

Hal ini tak terlepas dari konstruksi negara Indonesia yang didesain bukan atas dasar agama, melainkan pada saat yang bersamaan Indonesia didirikan bukan dengan memisahkan agama dari kehidupan bernegara.

Dalam konteks ini, pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan sejatinya menjadi etalase sekaligus manifestasi dari keberadaan konstitusionalisasi agama di Indonesia. Pemeluk agama secara bebas mengekspresikan aktivitas beragamanya dengan tetap sadar atas pluralitas masyarakat Indonesia dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Negara berketuhanan

Konstitusionalisasi agama dalam UUD 1945 memberi spektrum pada sikap dan kedudukan negara dengan menjadikan agama sebagai sektor penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keberadaan Kementerian Agama (Kemenag), seperti disebutkan Dian Abdul Hamid Shah (2017), menjadi manifestasi yang paling tampak atas komitmen negara di bidang keagamaan yang menjadikannya bangsa yang berkarakter religius (religious character).

Pada titik ini, relasi negara dan agama memiliki dua aspek sekaligus, yakni aspek formil yang beririsan pada fasilitasi negara terhadap seluruh agama dan para pemeluknya dalam menjalankan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin kebebasan dalam menjalankan keyakinan agama dan kepercayaan. Negara juga melindungi warga negara dalam mengekspresikan keberagamaannya.

Di sisi lain, terdapat aspek material di mana negara menempatkan nilai agama yang universal menjadi spirit material dalam penyelenggaraan negara. Spirit yang terpancarkan dari nilai agama yang universal sejatinya termanifestasikan melalui Pancasila dan UUD 1945. Aspek material inilah yang memiliki relevansi bagi negara dalam pengelolaan penyelenggaraan negara.

Dalam pembahasan rancangan undang-undang dasar (RUUD) dalam rapat Badan Usaha Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK), 1 Juni 1945, pada pembahasan dasar negara, Bung Karno menyebut pentingnya ketuhanan yang berkebudayaan yang berarti tak adanya egoisme agama, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, dan ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.

Dalam praktiknya, kaidah agama berdampingan dengan kaidah-kaidah lain, seperti kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan yang berkedudukan menjadi bahan material dalam proses perencanaan, pembahasan, serta pelaksanaan norma hukum yang mengikat publik. Dengan kata lain, nilai agama dan nilai yang tumbuh di tengah masyarakat (living in law) berkedudukan sebagai elemen penting dalam pembentukan kaidah hukum positif.

Bernegara otentik

Relasi negara dan agama dalam aspek formil menempatkan negara sebagai fasilitator dalam penyelenggaraan negara, khususnya memberikan pelayanan publik. Konsekuensinya, negara aktif dalam memfasilitasi kegiatan formal-seremonial agama dan para pemeluknya.

Hal ini terkonfirmasi oleh temuan riset Pew Research Center 2020 yang menyebut Indonesia berada di peringkat ketujuh negara paling religius di dunia, dengan 98,7 persen responden menganggap agama penting dan 96 persen menganggap moralitas seseorang ditentukan oleh keimanan pada Tuhan.

Temuan ini tak berubah dari riset sebelumnya (2007-2019).

Menariknya, temuan ini mengungkapkan faktor ekonomi, pendidikan, dan usia memengaruhi persepsi soal keberadaan agama dan keimanan terhadap Tuhan. Semakin rendah kemampuan ekonomi suatu negara (produk domestik bruto) dan akses pendidikan, serta semakin tua usia (di atas 50 tahun), semakin memercayai keberadaan Tuhan dan agama. Sepuluh negara paling religius adalah negara berkembang.

Namun, religiositas bangsa Indonesia nyatanya tak terkonfirmasi dalam lelaku penyelenggara negara dan produk kebijakan yang dihasilkan yang belum berorientasi pada kebaikan publik. Pada titik ini, negara baru sekadar menempatkan dan mengoperasionalkan agama sebagai aspek formal bernegara semata.

Agama belum menjadi aspek material yang menjadi nilai pemandu dalam pengelolaan penyelenggaraan negara untuk jadi lebih baik. Ini terkonfirmasi dalam beberapa temuan.

Sejumlah pengunjung berfoto dan mengunjungi instalasi masjid di dalam Mal Senayan City, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (20/3/2024). Pusat perbelanjaan tersebut membuat dekorasi berupa instalasi masjid dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan 1445 Hijriah.

Indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2023 berada di peringkat ke-115 dari 180 negara, dengan skor 33 dari 100 atau sama dengan capaian tahun 2022. Indeks negara hukum (rule of law index) pada 2023 juga mengalami stagnasi di angka 0,53 dari nilai 1 (tertinggi), sama dengan capaian tahun sebelumnya.

Setali tiga uang, indeks demokrasi (democracy index) pada 2023 sebesar 6,53 poin, turun dibandingkan tahun 2022 sebesar 6,71 poin. Ini menempatkan Indonesia pada kategori demokrasi cacat (flawed democracy).

Ini catatan penting bagi penyelenggara negara sebagai dasar evaluasi dan perbaikan di pelbagai sektor publik.

Temuan itu juga mengonfirmasi tidak liniernya aspek formil agama dengan aspek materiil agama. Negara baru sekadar memenuhi aspek formil beragama dan luput menjadikan aspek materiil sebagai inspirasi nilai dalam pengelolaan negara.

Nilai luhur agama, seperti jujur, adil, amanah, dan dapat dipercaya, belum sepenuhnya ditransformasi melalui perilaku, sikap, tindakan, termasuk dalam proses pembentukan kebijakan publik. Akibatnya, peristiwa anomali dan paradoksal kerap menjadi hal yang lumrah muncul di ruang publik.

Konstitusionalisasi agama yang tertuang dalam UUD 1945 semestinya melahirkan praktik bernegara yang otentik, yakni menampilkan nilai kejujuran, keadilan, dan dapat dipercaya yang bersumber dari nilai agama. Bukan sebaliknya, surplus dalam ritual keagamaan, tetapi defisit nilai dalam penyelenggaraan bernegara.

Ramadhan seharusnya menjadi momentum kontemplatif untuk menempatkan nilai agama sebagai aspek materiil dalam penyelenggaraan bernegara. Sebagaimana disebutkan Matthew Arnold (1822-1888), The true meaning of religion is thus not simply morality, but morality touched by emotion (Susan Ratcliffe, 2006).

Ramadhan semestinya melahirkan kesadaran yang mendalam untuk mentransformasi nilai luhur agama ke dalam ruang publik bernegara.

 

Ferdian Andi, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Artikel ini sudah dimuat di https://www.kompas.id/baca/opini/2024/03/24/ramadhan-konstitusionalisasi-agama-dan-bernegara-autentik, pada tanggal 25 Maret 2024 05:45 WIB.