Teliti Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam RUU Perampasan Aset terhadap Pelaku Korupsi Perspektif Maqāṣid al-Sharī’ah Ibn ‘Āshūr, Irfan Hielmy Raih Gelar Magister ke-2728
Teliti Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam RUU Perampasan Aset terhadap Pelaku Korupsi Perspektif Maqāṣid al-Sharī’ah Ibn ‘Āshūr, Irfan Hielmy Raih Gelar Magister ke-2728

Ruang 106 SPs UIN Jakarta, BERITA SEKOLAH: Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah menggelar ujian tesis ke-2728 di ruang 106 Sekolah Pascasarjana  pada Jumat, 30 Agustus 2024 dengan kandidat Irfan Hielmy.

Irfan Hielmy merupakan mahasiswa program magister Pengkajian Islam dengan konsentrasi Agama dan Hukum.  Irfan Hielmy menulis tesis berjudul “Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam RUU Perampasan Aset terhadap Pelaku Korupsi Perspektif Maqāṣid al-Sharī’ah Ibn ‘Āshūr”.

Penelitian Hielmy menghasilkan beberapa temuan. Di antaranya bahwa model NCBAF dengan asas pembuktian terbalik (unexplained wealth order) tidaklah bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang menjadi pelindung bagi para koruptor. Metode tersebut bertitik tolak dari pemahaman gagasan pada sistem anglo saxon yang menyatakan "if a "thing" offends the law, it may be forfeited to the state".

Soleh menyatakan bahwa temuan penelitian ini, sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyoroti adanya ketidakselarasan model non-conviction based asset forfeiture (NCBAF) dengan sistem hukum di Indonesia. Model NCBAF yang dikenal juga dengan perampasan aset jalur perdata dalam RUU Perampasan Aset dapat menjadi solusi kebuntuan hukum perampasan aset terhadap pelaku korupsi karena diksi "actual loss" terhadap kerugian yang ditetapkan pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor 25/PUU-XIV/2016 yang telah mengubah korupsi dari delik formil menjadi delik materil.

Penelitian Hielmy menyimpulkan bahwa Pertama, berdasarkan tinjauan hukum positif Indonesia, pola mekanisme perampasan aset tanpa penetapan pidana (non-conviction based asset forfeiture) dalam perampasan aset tidaklah bertentangan, bahkan cenderung selaras. Karena sejatinya hukum positif di Indonesia mendukung pemberlakuan penempuhan jalur perdata bagi pelaku korupsi dan penerapan konsep pembuktian terbalik pada mekanisme perdata. Hal ini dikarenakan tumpuan gugatan kesalahan ditekankan terhadap benda bukan pelaku sehingga dalam hal ini mekanisme perampasan aset dengan model NCBAF tidaklah merampas hak asasi terdakwa dengan tetap menjalani asas praduga tak bersalah.

Kedua, Berdasarkan tinjauan hukum pidana Islam (fiqh al-jinayah) perampasan aset tanpa penetapan pidana yang ditempuh dengan jalur perdata termasuk jarimah ta'zir dengan kategori fi'l al-darar atau perbuatan melawan hukum (PMH). Kualifikasi hukum yang mendekati PMH adalah ghasab, sehingga pengembalian aset dan harta sangat ditekankan dalam pengembalian harta yang dighasab. Sedangkan dalam pelaksanaan pembuktian terbalik, sistem pembuktian ini sejatinya merupakan ranah ijtihadi yang masih dapat diperdebatkan oleh para ulama. Maka mekanisme perampasan aset tanpa penetapan pidana dalam RUU Perampasan Aset merupakan salah satu syariat Islam yang masuk dalam kategori ta'zir.

Irfan Hielmy berhasil mempertahankan tesisnya di hadapan para penguji yang terdiri dari Hamdani, M.Ag, Ph.D; Prof. Dr. Rusli, S.Ag, M.Soc.Sc; Prof. Dr. Khamami Zada, MA; Dr. Alfitra, SH, M.Hum.

Setelah memperhatikan penulisan tesis, komentar tim penguji dan jawaban kandidat, tim penguji menetapkan bahwa Irfan Hielmy dinyatakan lulus dalam ujian tesis dengan predikat sangat memuaskan dan ditetapkan sebagai magister ke-2728 dalam bidang pengkajian Islam pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Arman/Hafidhoh/JA)