Demosprudensi dalam Unjuk Rasa di Pati
DEMONSTRASI warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang merespons keputusan Bupati Sudewo menaikkan tarif pajak bumi dan bangunan bisa dibaca dari beberapa sudut pandang. Namun ada satu persoalan mendasar dalam pembuatan kebijakan Bupati Pati, yakni pelibatan warga dalam pembuatan kebijakan.
Partisipasi publik yang bermakna dalam pembuatan keputusan kini benar-benar hilang. Dari pemerintah pusat ketika membuat undang-undang baru sampai pemerintah daerah saat hendak menaikkan pungutan pajak. Pemimpin meminggirkan, bahkan mengalienasi, warga secara sengaja saat pembuatan kebijakan. Jadi tak mengherankan jika gelombang protes muncul dalam setiap keputusan yang ugal-ugalan.
Unjuk rasa di Kabupaten Pati merupakan bentuk demosprudensi yang dikenalkan pemikir hukum asal Amerika Serikat, Lani Guinier dan Gerald Torres, dalam artikel "Changing the Wind: Notes Toward a Demosprudence of Law and Social Movements" (2014). Demosprudensi merujuk pada interaksi antara pembentukan hukum atau kebijakan dan gerakan sosial. Tujuannya ingin melahirkan perubahan politik, sosial, dan ekonomi. Dengan begitu, gerakan sosial bisa membuka ruang bagi warga yang semula terpinggirkan menjadi subyek aktif dalam perumusan kebijakan.
Protes warga Kabupaten Pati membuat aspirasi mereka didengar dan diakomodasi. Bupati Sudewo membatalkan kenaikan tarif pajak bumi dan bangunan. Aksi massa telah mengembalikan spirit demokrasi di daerah.
Kita belajar dari peristiwa di Kabupaten Pati bahwa demokrasi tak bisa disederhanakan sekadar pada praktik prosedural di bilik suara. Kedaulatan rakyat berjalan secara kontinu setelah pemilihan umum. Aksi masyarakat yang memprotes kebijakan Bupati Sudewo menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan mesti mengandung prinsip oleh rakyat dan untuk rakyat.
Keputusan Sudewo mengenai pajak juga mesti dilihat sebagai arena kritik bahwa peraturan dan keputusan pemerintah daerah bukan sekadar hubungan kekuasaan yang hierarkis. Begitu pemimpin memutuskan, rakyat seakan-akan mesti tunduk dan patuh. Namun, ketika ada protes dari rakyat, pejabat menjadi resistan. Hukum mesti bisa menjadi alat pergerakan.
Amna A. Akbar dkk dalam artikel "Movement Law" (2021) menyebutkan hukum pergerakan bertumpu pada solidaritas yang bertujuan mentransformasikan kesadaran politik dan hukum warga. Konsekuensinya, para sarjana atau kelompok cendekiawan mesti mereposisi sikapnya dengan lebih rendah hati dan berani.
Hukum pergerakan mensyaratkan kolaborasi antara gerakan sosial dan kelompok sarjana. Hukum pergerakan tidak sekadar mengkampanyekan pentingnya reformasi hukum, tapi juga bekerja memahami strategi, taktik, eksperimen perlawanan, dan kontestasi. Model pergerakan di Kabupaten Pati dapat menguatkan kedaulatan rakyat yang bertumpu pada akar rumput.
Pelajaran dari Pati
Keputusan menaikkan pajak di Kabupaten Pati memberi pelajaran penting mengenai tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan partisipasi warga. Pemerintah mungkin saja ingin mendapat manfaat yang lebih luas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan kenaikan pajak itu. Namun rakyat berkeberatan.
Seni menyelenggarakan pemerintahan adalah mencari keseimbangan antara kepentingan pemerintah dan kebaikan warga. Pada titik inilah publik wajib dilibatkan dalam penyusunan setiap kebijakan publik. Partisipasi publik dapat menjadi devil advocate bagi pemerintah sebagai mitra diskusi.
Aspirasi publik yang berisi kritik terhadap kebijakan pemerintah mesti ditempatkan sebagai bagian dari ruang dialektika antara negara dan warganya. Kritik jangan dipandang sebagai sentimen negatif sehingga pejabat memberikan umpan balik yang nirempati kepada publik.
Penyelenggaraan pemerintahan di era media sosial menuntut setiap pejabat lebih mewawas diri dalam menyampaikan narasi di ruang publik. Bila narasi yang dibuat ceroboh, apalagi bertentangan dengan pandangan umum, risikonya bisa memicu krisis politik seperti di Kabupaten Pati.
Dukungan politik saat pemilihan umum tak mengalami stagnasi. Ia berjalan dinamis bergantung pada kinerja pemimpin. Pejabat publik mesti punya empati terhadap situasi di tengah masyarakat. Demonstrasi di Kabupaten Pati adalah pelajaran berharga bahwa pembentukan hukum atau kebijakan mesti melibatkan rakyat.
Ferdian Andi, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Artikel ini telah tayang di TEMPO Disway dengan judul "Demosprudensi dalam Unjuk Rasa di Pati", Rabu, 20 Agustus 2025.