Generasi Muda Harus Merombak Pola Pikir
Prof. Dr. Didin Saepudin, MA
Guru Besar SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Apa modal utama membangun generasi muda bereputasi? Kuncinya adalah pendidikan. Dengan pendidikan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang tidak bisa menjadi bisa, yang tidak ada menjadi ada, bahkan yang mustahil pun bisa terwujud. Dapat dibayangkan bila negara kita yang kaya raya ini tidak memiliki anak bangsa yang berprestasi. Kurang apa isi bumi kita menyimpan kekayaan. Minyak bumi, gas, emas, batubara, timah, nikel, fosfor, hutan, dan kekayaan laut, semua tersedia, bahkan berlimpah. Namun kekayaan alam sedahsyat itu tidak menyebabkan anak bangsanya makmur. Faktor utamanya adalah sumber daya manusia yang akan mengelola kekayaan itu yang tidak, bahkan jauh dari, memadai.
Sekurang-kurangnya pendidikan dapat mengubah bangsa pada lima aspek, pertama pendidikan mencerdaskan bangsa. Apa yang bisa dilakukan oleh manusia kalau tidak cerdas dan berilmu? Apalagi orang Islam dalam al-Quran sudah dideklarasikan sebagai khalifatullah fil ardh. Predikat ini berarti wakil Tuhan di muka bumi yang memimpin, mengelola, dan memakmurkan bumi. Bagaimana mungkin bisa memimpin dan mengelola bumi kalau tidak memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni.
Saat ini negara maju sudah mampu membuat teknologi yang meniru kecerdasan manusia bernama Artificial Intelligent atau AI yang konon tingkat IQ nya jauh lebih tinggi dari manusia. Suatu saat peran manusia semakin tersisihkan karena digantikan oleh teknologi berbasis AI. Di banyak negara maju peran pelayan toko, perawat di rumah sakit, bahkan pelayanan di bandara sudah didominasi AI. Hal tersebut menandakan tingkat kecerdasan manusia sudah semakin luar biasa. Apabila bangsa kita tidak lagi mengejar pendidikan maka mereka akan digilas oleh peran robot-robot berbasis AI.
Kedua, pendidikan membangun karakter manusia. Bila pendidikan hanya mengejar kecerdasan belaka maka akan lahir manusia-manusia srigala yang lapar memangsa siapa saja yang lemah. Artinya, akan muncul manusia yang form-nya manusia tetapi wataknya seperti binatang buas. Ia serakah, tamak, hampa belas kasih, keras hati, dan bahkan bisa memakan anaknya sendiri. Karena itu pendidikan berfungsi membangun watak yang humanis, karakter yang santun, dan memiliki sifat empati terhadap nasib orang lain.
Ketiga, Pendidikan mengubah sikap mental. Sikap mental malas, penakut, pesimis, tidak percaya diri, lemah inovasi, mudah menyerah, mengutamakan tujuan lupa proses, itu semua akan dirombak total oleh pendidikan. Kemajuan suatu bangsa bisa ditentukan oleh keuletan dan ketekunan bangsa itu dalam mengejar prestasi. Bangsa penakut akan diterkam oleh bangsa pemberani. Manusia pesimis dan mudah menyerah akan terkubur dilibas sejarah. Lemah berinovasi akan berdampak pada keterbelakangan dan disalib oleh mesin waktu.
Keempat, pendidikan mengubah pola pikir. Dalam Islam yang namanya ibadah adalah keseluruhan aktivitas manusia yang ditujukan mencapai keridoan Tuhan (To earn the pleasure of God). Berarti bukan hanya sholat, puasa, doa, wirid, dan haji yang akan mendapatkan keridoan Tuhan melainkan aktivitas memperdalam ilmu, membangun peradaban, menata ekonomi bagi kesejahteraan banyak orang, memberi pakaian bagi yang telanjang, memberi makan bagi yang lapar, dan menjadi saksi-saksi atas kebenaran, serta menjadi penegak-penegak keadilan; itu semua adalah ibadah. Karena itu tidak dipandang baik kalau seseorang mengutamakan ibadah sunat tetapi mengabaikan ibadah lain yang lebih prioritas. Contoh orang yang berhaji berkali-kali atau ibadah umroh tiap bulan tetapi tetangga sekelilingnya banyak yang kelaparan atau tidak sanggup berobat karena kemiskinannya. Almarhum mantan Imam Besar Masjid Istiqlal sampai berani menyebut haji seperti itu sebagai “Haji pengabdi Setan”. Pola pikir seperti ini perlu dirombak di kalangan ummat, karena ibadah dan muamalah itu satu kesatuan.
Kelima, Pendidikan memperluas literasi. Seseorang yang mengejar pendidikan sampai ke tingkat tertinggi akan membuka cakrawala dan wawasan berpikir yang sangat luas. Dia akan terbuka dengan segala hal yang baru sambil menyeleksinya. Bila itu membawa manfaat ia akan ambil, bila sebaliknya ia akan tolak. Dalam bersikap ia akan bersikap wise (arif ), tidak apriori terhadap apa yang ada di hadapannya sekalipun itu bertentangan dengan prinsip pendiriannya.
Itulah resep membangun bangsa, khususnya generasi muda, dalam merespon tantangan era digital zaman kiwari yang membutuhkan prestasi, reputasi dan recognisi lebih dari apa yang pernah dicapai selama ini. Kalau ini bisa diwujudkan tidak mustahil Indonesia, yang sedang mengalami bonus demografi akibat jumlah usia mudanya lebih besar dari lansia, akan memperoleh predikat “negara maju” dan mengucapkan selamat tinggal pada status “negera berkembang”.(JA)