Harmoni Agama dan Negara
Dalam sejarah Indonesia modern, pemaknaan dan pelaksanaan kedudukan agama dalam negara ini mengalami dinamika dan tarik ulur, terutama antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis. Hal ini terjadi pada sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945, yang berakhir dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara. Kemudian pada sidang-sidang Konstituante 1956-1959 terjadi lagi perdebatan tantang Pancasila atau Islam sebagai dasar negara, yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang “kembali ke UUD 1945”, sementara Piagam Jakarta menjiwai terbentuknya UUD 1945. Tarik ulur antara orientasi Keislaman dan Kebangsaan juga terjadi di awal-awal periode Orde Baru (1966-1998) dan awal-awal era reformasi (1998-sekarang).
Saat ini pun perdebatan antara Keislaman dan Keindonesian atau antara orientasi keagamaan dan orientasi kebangsaan sekular kadang-kadang masih terjadi. Hal ini diperburuk dengan munculnya kelompok-kelompok ekstrim kanan (keagamaan) di satu sisi, dan di sisi lain, kelompok-kelompok sekuler, yang ingin memisahkan sepenuhnya agama dari negara, atau bahkan ekstrim kiri, yang menuntut penghidupan kembali PKI. Sebagian dari aliran-aliran atau kelompok-kelompok itu, terutama kelompok puritan, radikal dan ekstremis, telah merusak karakterisitk Indonesia yang damai, moderat dan toleran, yang berujung pada terjadinya kasus-kasus terorisme, kekarasan dan intoleransi beragama. Kini ketegangan itu kadang-kadang muncul dalam Pemilu atau Pilkada, tetapi setelah Pemilu dan Pilkada selesai ketegangan ini menjadi redup.
Agama dan Negara
Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini, hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan antara agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara). Negara-negara yang mendasarkan diri pada sekularisme memang telah melakukan pemisahan antara agama dan negara, meski bentuk pemisahan itu bervariasi. Penerapan sekularisme secara ketat terdapat di Perancis dan Amerika Serikat, sementara di negara-negara Eropa selain Perancis penerapannya tidak terlalu ketat, sehingga keterlibatan negara dalam urusan agama dalam hal-hal tertentu sangat jelas, seperti hari libur agama sebagai libur nasional, pendidikan agama di sekolah, pendanaan negara untuk agama, keberadaan partai agama, pajak gereja, dan sebagainya. Meski AS telah menerapkan sekularisme secara ketat, dalam kenyatannya, agama masih cukup kuat dalam kehidupan masyarakat, sehingga di negara ini agama masih sering dilibatkan dalam politik, termasuk dalam kampanye-kampanye pemilihan umum.
Dalam konteks Indonesia, negara ini bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama, melainkan negara modern (demokratis) yang menghargai posisi agama dalam kehidupan negara. Secara kelembagaan, negara Indonesia dibangun seperti lazimnya negara modern sekuler, tetapi secara filosofis, negara ini didasarkan pada ideologi Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan sila pertama ini disebutkan disebutkan secara eksplisit dalal pasl 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yakni “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Rumusan ini merupakan kompromi dalam perdebatan yang cukup seru di kalangan para bapak pendiri bangsa (founding fathers) dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945. Dalam perdebatan itu, awalnya kelompok Islam mendukung ide Islam sebagai dasar negara, sementara kelompok nasionalis mendukung ide negara sekuler. Pengakuaan akan eksistensi agama dalam kehidupan bernegara diwujudkan terutama dalam bentuk pengakuan resmi lembaga-lembaga keagamaan tertentu dalam negara serta adopsi sebagian nilai-nilai dan norma-norma agama dalam sistem nasional dan pengambilan kebijakan publik.
Modernisasi politik di hampir semua negara di dunia telah melahirkan sekularisasi politik, termasuk di negara-negara Muslim dan bahkan di negara-negara agama seperti Arab Saudi dan Iran. Namun dalam kenyataannya, umat Islam di sebagian besar dunia Islam tetap memperhatikan faktor agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik ajaran Islam itu sendiri, yang tidak hanya merupakan sistem teologis, tetapi juga cara hidup yang berisi standar etika moral dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, sekularisasi yang terjadi di negara-negara Muslim umumnya tidak sampai menghilangkan orientasi keagamaan masyarakat dan negara.
Di masa Orde Baru memang terjadi sekularisasi politik yang sangat kuat, terutama dengan kebijakan “de-ideologisasi politik”. Namun demikian, dalam masyarakat tidak terjadi sekularisasi secara radikal, karena umat Islam tetap memiliki orientasi keagamaan dan melakukan sosialisai ajaran-ajaran agama secara kultural, sehingga proses itu tidak sampai menjadikan negara ini menjadi negara sekuler. Berakhirnya masa Orde Baru dan munculnya Era Reformasi pada 1998, dijadikan sebagai momentum bagi sebagian tokoh Islam untuk mempromosikan kembali politik Islam dengan mendirikan partai-partai Islam atau berbasis massa ormas Islam. Memang di awal-awal era reformasi sempat muncul gagasan dan perdebatan dalam konteks amandermen UUD 1945 untuk memasukkan semangat Piagama Jakarta atau pelaksanaan syari’at Islam dalam konstitusi. Namun demikian, gagasan atau usulan tersebut tidak didukung oleh ormas-ormas Islam besar, terutama NU dan Muhammadiyah.
Hal ini menunjukkan, bahwa karakteristik Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat dan damai, yang dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama, dalam konteks hubungan antara warga, umat Islam di negara ini sangat toleran terhadap kelompok lain. Kedua, dalam konteks hubungan antara Islam dan negara, umat Islam akomodatif terhadap ideologi negara dan sistem demokrasi. Ketiga, dalam konteks kehidupan dan perkembangan dunia, umat Islam dapat menerima modernisme meski tetap memiliki orientasi keagamaan, yakni dengan menerima Pancasila sebagai ideologi negara dan demokrasi sebagai sistem politik di negara ini. Kini Indonesia bahkan dinilai sebagai negara Muslim paling toleran dan paling demokratis di dunia. Banyak pihak yang mengharapkan Indonesia dijadikan sebagai model negara Muslim modern yang demokratis.
Integrasi Nasional
Munculnya era reformasi, yang sejak awal mendukung kebebasan ini, mendorong warga negara untuk mengekspresikan pendapat, aspirasi dan kepentingan mereka secara bebas dan terbuka, termasuk ekspresi ideologi yang pada masa Orde sangat dibatasi atau ditekan. Di antara ekspresi itu ada tindakan yang berlebihan sehingga melahirkan konflik, perselisihan dan kekerasan dalam masyarakat, baik yang berlatarbelakang politik, ekonomi, etnis, agama dan sebagainya. Sebagai masyarakat majemuk, sejak awal bangsa Indonesia selama ini dikenal sebagai masyarakat beragama yang moderat dan toleran, dan bahkan menjadi contoh toleransi beragama di dunia.
Namun di era reformasi ini, peristiwa konflik antar-warga, termasuk yang berlatarbelakang agama, justru semakin meningkat dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. Di era reformasi ini muncul gerakan-gerakan keagamaan (Islam) yang bersifat trans-nasional, yang ingin mendirikan “Negara Islam” (Dawlah Islamiyyah) atau “Khilafah Islamiyyah”, yang pada masa lalu disebut sebagai ekstrim kanan (EKA). Bahkan kini muncul juga kelompok esktrim kiri, yang dulu disebut sebagai ekstrim kiri (EKI), yang antara lain berusaha untuk menghidupkan kembali PKI dan menuntut pemerintah untuk minta maaf kepada keluarga korban PKI dalam G 30 S/PKI.
Demikian pula, di era reformasi ini muncul pula ekspresi kebebasan dalam bentuk kekerasan dan radikalisme, yang justru mengganggu harmoni dan kedamaian dalam kehidupan bangsa dan negara dan bahkan dapat mengancam NKRI dan kebhinnekaan. Memang, dalam masyarakat yang mejemuk mewujudkan harmoni dan kedamaian ini tidaklah mudah, karena masing-masing kelompok bisa memiliki aspirasi dan kepentingan yang berbeda-beda dan bisa berimplikasi kepada munculnya persaingan. Apalagi jika masing-masing kelompok mengembangkan politik identitasnya dan egoisme kelompoknya dengan mengatasnamakan ekspresi kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Perbedaan, perselisihan dan konflik sebenarnya hal yang tak bisa dihindarkan dalam kehidupan masyarakat dan negara. Namun jika konflik itu berkembang menjadi kekerasan dan kebencian, maka hal ini menunjukkan bahwa sebagian bangsa Indonesia masih belum beradab, dan hal ini bahkan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang ada di Indonesia.
Terdapat beberapa hal yang potensial menimbulkan konflik dan ketegangan internal agama (Islam), yang secara umum terkait dengan pemahaman keagamaan, yakni antara mainstream dan penyimpangan (deviation). Sedangkan konflik antar-umat beragama umumnya tidak murni karna faktor agama, tetapi faktor politik, ekonomi atau lainnya yang kemudian dikaitkan dengan agama. Sedangkan perselisihan atau ketegangan yang terkait dengan persoalan agama umumnya dipicu oleh tiga faktor, yakni persoalan pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama yang tidak sesuai dengan aturan serta penodaan agama. Namun secara umum, kondisi kerukunan internal dan antar-umat beragama cukup baik.
Di samping konflik dan ketegangan berlatarbelakang agama dan etnis, konflik atau ketegangan antar kelompok juga disebabkan oleh faktor politik, terutama terkait dengan Pemilu/Pilkada dan persaingan rekriutmen jabatan publik. Keterlibatan warga dalam Pemilu merupakan suatu bentuk partisipasi politik rakyat yang bersifat positif. Partisipasi politik bahkan menjadi salah satu indikator demokrasi, sehingga semakin banyak partisipasi pada umunya dianggap sebagai sesuatu yang baik; dan sebaliknya, semakin kurang partisipasi dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Pemerintah di era reformasi tidak membatasi partisipasi politik rakyat, melainkan mengarahkan agar aspirasi itu bisa tersalurkan dengan melalui fungsionalisasi secara optimal partai-partai politik dalam melakukan peran sosialisasi politik serta artikulasi dan agregasi kepentingan. Di samping itu, aspirasi itu bisa juga tersalurkan melalui kelompok-kelompok masyarakat warga (civil society), yang notabene bisa melakukan perannya sebagai interest group atau pressure group.
Proses politik dalam sistem demokrasi seperti Pemilu dan pengambilan kebijakan publik yang dilaksanakan secara bebas dan terbuka dimaksudkan untuk membuat konflik seperti itu dapat dikelola dan diselesaikan secara beradab melalui badan legislatif dan yudikatif. Pemilu-Pemilu yang telah berlangsung di era reformasi cukup demokratis, adil dan damai, sehingga Indonesia dinilai sebagai negara demokratis tersebesar ketiga di dunia, meski dalam beberapa hal masih muncul kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada, seperti masih adanya kecurangan, manipulasi suara, politik uang, konflik, “politisasi agama” dan sebagainya.
Hal-hal ini bisa mencederai demokrasi, karena hal ini bisa memunculkan kebebasan yang “kebablasan” serta rekayasa politik, yang menjadikan kehendak minoritas atau elit politik menjadi kehendak mayoritas. Pelibatan agama dalam politik sebenarnya tidak bertentangan dengan demokrasi, dan hal ini pun terjadi di negara-negara Barat sekuler. Hanya saja, hal ini perlu deekspresikan dengan santun dan tidak mencampuradukkan antara politik dan agama, sehingga pelibatan ini tidak menimbulkan kebencian dan konflik SARA.
Meski terdapat sejumlah kasus ketegangan politik dalam Pemilu dan Pilkada yang diselenggarakan di era reformasi ini, dalam kenyataannya Pemilu dan Pilkada itu berjalan dengan lancar dan damai. Bahkan Pikada 2017, terutama di DKI Jakarta, yang dianggap cukup menegangkan dan dikhawatirkan dapat merusak harmoni sosial dan kerukunan umat beragama, ternyata juga berjalan dengan lancar dan damai. Memang diakui, bahwa persaingan politik pada Pilkada DKI Jakarta yang baru lalu telah melahirkan munculnya gesekan antarkelompok dalam masyarakat dan bahkan dugaan anti kebhinnekaan. Oleh karenanya, kini semua unsur dalam masyarakat dituntut untuk memperkuat wawasan kebangsaan dan menjaga NKRI dari segala ancaman yang bisa merusaknya.
Dalam konteks penguatan wawasan kebangsaan inilah agama dapat memberikan kontribusi yang positif dalam revitalisasi ideologi Pancasila. Agama semestinya menjadi faktor integratif (pemersatu) dan bukan sebaliknya sebagai faktor disintegratif (pemecah belah) bangsa. Dengan fungsi ini nilai-nilai agama dan Pancasila menjadi modal sosial bagi harmoni dan integrasi bangsa. Dan untuk mewujudkan fungsi ini, diperlukan pemahaman keagamaan yang moderat dengan memperhatikan kondisi obyek masyarakat Indonesia yang multi-etnik, multi-agama dan multi-kultural. Pemahaman semacam ini akan menjelma menjadi sikap keberagamaan yang toleran terhadap kemajemukan, bukan sikap keberagamaan yang berwatak absolutis dan radikal.
Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama, melainkan negara demokrasi yang menghargai posisi agama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, seharusnya agama dan negara tidak dibenturkan, melainkan harus diharmonisasikan; dan untuk hal ini, perlu terus dilakukan upaya-upaya penguatan wawasan kebangsaan. Upaya ini terutama dilakukan dengan revitalisasi ideologi Pancasila dalam berbagai kehidupan bangsa, dan sekaligus melarang organisasi-organisasi yang menolak Pancasila sebagai ideologi negara. Sejalan dengan hal ini, perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan pendidikan dan kesejahteraan rakyat, yang akan berakibat pada peningkatan wawasan dan kesadaran akan harmoni dan integrasi bangsa.
*Masykuri Abdilllah, Guru Besar/Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, dan Rais Syuriyah PBNU.
*Artikel ini sudah dimuat di Harian Republika pada 27 Desember 2017