Islam Indonesia Dapat Jadi Alat Diplomasi Publik
Gedung SPs UIN Jakarta, BERITA SEKOLAH Online – Guru Besar Antropologi dari Emory University, Atlanta, Amerika Serikat, Prof Dr James B Hoesterey, menyatakan bahwa Islam model Indonesia dapat menjadi alat diplomasi publik ke dunia Barat. Hal itu ditengarai karena Islam Indonesia lebih menekankan pentingnya persaudaraan dan harmoni.
“Islam Indonesia layak dipuji karena telah memperkenalkan kekhasannya sebagai Islam moderat,” kata James saat menjadi pembicara pada Kuliah Umum bertajuk “The Role of Religious Leaders in the Indonesian Public Diplomacy” di gedung Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta, Kamis (15/9).
Selain James, pembicara lainnya adalah Wakil Menteri Luar Negeri RI Dr Abdurrahman Mohammad Fachir. Turut pula hadir Direktur SPs UIN Jakarta Prof Dr Masykuri Abdillah, Ketua Senat Universitas UIN Jakarta Prof Dr Atho Mudzhar, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Prof Dr Abdul Ghani Abdullah, dan Ketua Program Magister SPs UIN Jakarta Dr JM Muslimin.
Menurut James, Islam Indonesia bukanlah Islam yang identik dengan kekerasan (violence) tetapi Islam yang lemah lembut. James juga mengungkapkan bahwa Islam sangat menekankan kecintaan kepada umat manusia dan pentingnya menunjukkan kasih sayang serta simpati kepada setiap makhluk Allah, termasuk hewan.
James dalam ceramahnya juga mengapreasi lahirnya gerakan Islam Nusantara yang digagas Nahdlatul Ulama maupun ormas lain seperti Muhammadiyah. Islam Nusantara, yang meskipun di Indonesia sempat menimbulkan pro-kontra, menurut James, disebut sebagai contoh atau bentuk diplomasi publik dalam upaya lebih memperkenalkan Islam moderat Indonesia ke dunia Barat.
“Contoh alat diplomasi publik lainnya adalah melalui film Ayat-ayat Cinta,” kata James, yang pernah meneliti mengenai pasang surut KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), pengasuh Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Bandung, Jawa Barat, itu.
Lantas, apakah Islam Nusantara dapat diekspor ke dunia Barat? James berpendapat sebaiknya Islam Nusantara tidak diekspor tetapi justru para ulama Indonesia yang sebaiknya diekspor ke dunia Barat, termasuk kalangan akademisinya.
“Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah sebagai kedua ormas terbesar di Indonesia juga diharapkan agar saling bersinergi untuk membangun peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” tuturnya.
Sementara itu, Abdurrahman Mohammad Fachir mengatakan, sebagai bangsa yang pluraris, Indonesia harus dapat memecahkan banyak masalah yang timbul karena keberagaman tersebut. Hal itu sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam mengikatkan masyarakat Madinah melalui perjanjian yang disebut Piagam Madinah.
“Piagam Madinah tersebut dapat meng-cover seluruh kelompok etnis, suku dan agama penduduk Madinah,” katanya. (ns)