Kajian Kamisan Perdana Mengupas Dinamika Kontemporer Relasi Syi’ah dan Sunni di Indonesia
Gedung Perpustakaan Riset Pascasarjana, BERITA SEKOLAH: Klub Riset Bildung yang merupakan forum kemahasiswaan SPs UIN Jakarta sukses menggelar Kajian Kamisan Perdana, pada Kamis, 30 Mei 2024 di Perpustakaan SPs UIN Jakarta. Dalam sambutan pembuka, Dr. Suwendi, M.Ag selaku inisiator Kajian Kamisan sekaligus Dosen SPs UIN Jakarta menyampaikan, bahwa kegiatan ini merupakan bentuk ikhtiar SPs UIN Jakarta untuk meningkatkan atmosfer akademik di lingkungan UIN Jakarta. Kajian ini akan digelar rutin setiap Kamis dengan menghadirkan dosen pakar yang akan mengulas isu-isu hangat seputar studi keislaman.
Pada pertemuan ini, Prof. Dr. Zulkifli, MA, Guru Besar Antropologi Sosio-Kultural UIN Jakarta, yang juga menjabat sebagai Direktur SPs UIN Jakarta, hadir sebagai narasumber. Berdasarkan hasil penelitiannya yang berjudul “The Struggle of Shi’is in Indonesia”, dalam kesempatan ini Prof Zulkifli membahas seputar “Dinamika Kontemporer Relasi Syiah dan Sunni di Indonesia.”
Barangkali kebanyakan orang mengidentifikasi identitas pengikut Syiah dan Sunni sebatas berdasarkan ritual yang dilakukan atau definisi teologi normatif yang biasa dikemukakan, Prof. Dr. Zulkifli, MA menyampaikan bahwa terdapat empat kerangka konseptual yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi identitas keduanya.
Pertama, kesalehan Alawi. Kompleksitas yang bervariasi dari sikap religius, yang khusus dikaitkan dengan kesetiaan kepada kaum ‘Alawi—bukan hanya penghormatan kepada kaum ‘Alawi sendiri, tetapi juga tentang ide-ide tertentu yang dimuliakan berkenaan dengan diri Muhammad dan anggapan tentang ajaran rahasia yang disalurkan secara khusus kepada Ali dan sebagainya—baik sikap-sikap tersebut muncul di kalangan kaum Jama’i-Sunni atau di kalangan Syiah yang menolak tegas menyatakan dirinya sebagai Syiah dalam arti yang sebenarnya, inilah yang disebut dengan loyalisme Alawi, sebagai salah satu ciri identias penganut Syi’ah.
Kedua, sekterianisme yang berciri menjadikan perbedaan-perbedaan di kalangan Islam sebagai hal esensialis. Ketiga, sektarianisasi, yaitu sebuah proses yang dibentuk oleh aktor politik, yang beroperasi dalam konteks tertentu, mengejar tujuan politik yang melibatkan mobilitas populer di sekitar penanda identitas (agama) tertentu. Dan terakhir, melalui identitas sektarian yang dikonstruk setidaknya oleh empat hal; power relations, konsepsi Islam dalam diri, pola pikir mayoritas, dan ketidakseimbangan demografis.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Zulkifli, MA mengutarakan bahwa dalam relasi Syiah-Sunni juga terdapat faktor-faktor integratif, yaitu keberadaan aktor yang mengetengahi keduanya, seperti Gus Dur yang dulu pernah membuka diskusi bersama pengikut Syiah namun kurang mendapatkan sambutan baik dari kebanyakan orang, kemudian praktek ritual kolektif, inklusivitas, aktifitas-aktivitas sosial yang melibatkan kedua kelompok, dan lain sebagainya.
Di sesi tanggapan, ada pertanyaan menggelitik yang dilontarkan oleh salah seorang peserta Kajian Kamisan, “Bagaimana Prof. Zul memandang pernyataan yang mengatakan bahwa ideologi Syiah tidak jauh berbeda dengan ideologi Mu’tazilah?” Merespon pertanyaan tersebut, Prof. Dr. Zulkifli, MA mengulas asas-asas ideologi Syi’ah.
Syiah berpegangan pada ushul al-din yang berisi tiga pokok keyakinan, iman kepada Allah, utusan-utusan Allah, dan pada hari Kebangkitan. Selain itu, Syi’ah berasas pada ushul al-madzhab yang terdiri dari konsep imamah dan ‘adalah. Di poin ‘adalah inilah Syiah memiliki kemiripan dengan Mu’tazilah. Oleh karenanya, tidak benar jika dikatakan ideologi Syi’ah serupa dengan ideologi Mu’tazilah, sebab hanya di sebagian kecil ajaran saja keduanya memiliki kemiripan.(Tanzil/Suwendi/JA)