Kehidupan Beragama di Eropa Sangat Kompleks
Auditorium SPs UIN Jakarta, BERITA SEKOLAH Online - Kehidupan agama dan umat bergama di Uni Eropa hingga saat ini masih sangat kompleks. Di Uni Eropa terdapat dua organisasi multinasional dengan fungsi dan tujuan yang berbeda, yakni Uni Eropa (European Union) dan Dewan Eropa (Council of Europe).
Organisasi pertama dibentuk pada tahun 1992 dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan ekonomi dan politik, sedangkan organisasi kedua dibentuk pada tahun 1950 untuk mempercepat integrasi Eropa dalam masalah hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum.
Hal itu diungkapkan Prof Dr Louis Leon Christians dari Universitas Katolik Lavoin Belgia pada saat kuliah umum bertajuk “Religions in Europe: Social Diversity and Fundamental Rights Convergence” di Auditorium Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta, Senin (10/4/2017). Turut hadir direktur SPs UIN Jakarta Prof Dr Masykuri Abdillah, Wakil Direktur Bidang Administrasi Umum Dr JM Muslimin, dan moderator Dr Ayang Utriza Yakin.
“Pada awal berdirinya, kedua organisasi tersebut memiliki agenda berbeda dalam urusan agama. Jika Uni Eropa meminggirkan agama dalam berbagai kesepakatannya, Dewan Eropa justru menjadikan agama sebagai faktor penting bernegara,” papar Louis.
Louis mengatakan, seiring berjalannya waktu, Uni Eropa yang awalnya tidak mengurusi agama. Namun, masalah agama kemudian ikut dimasukkan ke dalam traktat perundingan hingga menjadi undang-undang (UU Tahun 2008). Di antara bunyi UU itu adalah Uni Eropa menghargai status hukum gereja dan asosiasi agama dari semua negara anggota; Uni Eropa juga menghargai status hukum organisasi kepercayaan dan non-konvensional negara anggota; dengan mempertimbangkan identitas dan kontribusinya, Uni Eropa harus merawat hubungan baik dengan geraja dan organisasi dengan terbuka, transparan, dan melakukan dialog secara rutin.
“TapI praktiknya, nota kesepahaman yang dibuat disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing negara aggota,” ujarnya.
Berkaitan dengan UU Tahun 2008 Pasal 17, dalam kasus di Perancis, misalnya, seseorang tidak boleh menolak seorang karyawan hanya karena memakai jilbab. Tetapi di Belgia, perusahaan dapat menuntut pekerjanya untuk melepaskan semua atribut agama, politik, dan keyakinannya.
Direktur Sekolah Hukum dan Agama Universitas Katolik Lavoin ini juga menjelaskan, regulasi agama di masing-masing negara di Eropa secara garis besar dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk. Pertama, tegas memisahkan urusan agama dan negara seperti Perancis; kedua, memiliki agama resmi yang diwakili Inggris (Katolik) dan Yunani (Protestan); ketiga, negara yang memisahkan urusan agama tetapi mengakomodir aturan seperlunya seperti Jerman.
“Pluralisme dan demokrasi merupakan dua landasan utama ketika berbicara agama di Eropa. Para pemeluk agama dapat dengan bebas menjalankan dan mengembangkan institusi agama mereka dengan dua landasan itu,” urai dosen senior yang memulai karir akademiknya di Universitas Liege Belgia.
Louis menegaskan bahwa ada dua klasifikasi paham pluralisme yang didasarkan pada regulasi yang berlaku di negara-negara di Eropa, yakni pluralisme internal dan pluralisme eksternal. Pluralisme pertama adalah regulasi independen di suatu negara, sedang pluralisme bentuk kedua berarti aturan agama di suatu negara berpengaruh pada negara-negara tetangganya. Kedua pluralisme ini berlaku dan disepakati bersama dalam konvensi HAM Pasal 9.
“Jadi, masalah agama dalam konteks Eropa sangat kompleks. Namun, dinamika agama di Eropa sepanjang sejarahnya tidak terlepas dari dua bentuk, yakni konvergensi dan diversitas,” ungkap guru besar yang telah menerbitkan lebih dari 100 karya, baik dalam bentuk buku, artikel jurnal, maupun makalah internasional tersebut. (ns/wildan)