Kontekstualisasi Keberagamaan Melalui Fikih Peradaban
ISU beragama kembali mendapat perhatian serius dalam acara Konferensi Internasional Fikih Peradaban yang dilaksanakan PBNU di Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2/2023). Para Ulama dari berbagai negara Timur Tengah, Amerika, Eropa, dan Asia Tenggara hadir di Forum ini untuk mendiskusikan bagaimana menformulasikan teks agama khususnya fikih dalam konteks sosial kekinian.
Membincangkan fikih peradaban menjadi momentum penting peringatan satu abad NU, dalam menghadapi abad kedua untuk mewarnai dunia muslim tentang cara pandang keagamaan dan kenegaraan. Agenda fikih peradaban ini inisiatif Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam menyegarkan kembali keadaban beragama, setelah berhasil mengadakan R20 di Bali bersama tokoh agama dunia dalam isu kehidupan beragama yang damai dan toleran.
Fikih peradaban juga telah menjadi agenda besar NU yang dilakukan melalui ratusan kegiatan halaqah di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan Islam. Tujuannya yaitu bagaimana memahami teks agama dengan pendekatan kontekstual demi terwujudnya kedamaian dan keadilan. Gus Yahya menyadari bahwa tantangan umat Islam terletak pada cara membaca teks agama khususnya produk fikih klasik dalam merespon kehidupan yang selalu berubah.
Agenda besar itu mengingatkan kita pada keberhasilan NU dimasa kolonial dan awal kemerdekaan dalam bernegara di bawah kekuasan non-muslim. Formulasi fikih peradaban ini menjadi magnum opus NU di paruh abad kedua dalam merespons perubahan dunia.
Memperteguh kemaslahatan
Agenda utama fikih peradaban yang digagas Gus Yahya adalah untuk memperteguh posisi muslim pada level nasional dan internasional dalam merumuskan kembali cara pandang penafsiran teks agama. Gagasan ini perlu diperkuat karena masyarakat muslim masih cukup banyak yang belum beranjak dari cara berfikir fikih klasik dalam merespons perubahan.
Akibatnya, kemajuan dunia muslim seakan terbelenggu oleh cara pandang masa silam. Faktor utama yang sering muncul yaitu we and others, kita muslim dan yang lain kafir. Inilah yang menjadi sekat kebangsaan setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani 1924, yang mana muncul hegemoni Barat yang diteguhkan dengan hadirnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai kumpulan berbagai negara yang diprakarsai negara-negara 'kafir'. Itulah term yang umum digunakan dalam fikih klasik. Apakah kehadiran PBB masih relevan bagi dunia muslim dalam mengelola dunia jika dilihat dari perspektif fikih?
Gus Yahya menggunakan forum konferensi internasional untuk memposisikan dunia muslim dalam membaca perubahan dunia melalui fikih peradaban. Isu ini penting bagi dunia muslim sebagai ruang untuk menjaga kepentingan mereka berbarengan dengan memperkuat kelemahan yang dimiliki PBB. Tujuan PBB dimaknai sebagai bagian dari kemaslahatan yang menjadi dasar utama syariah.
Apalagi peran strategis lembaga ini dimaksudkan untuk menjaga perdamaian dunia, setelah trauma perang dunia I dan II yang menghancurkan kehidupan manusia. Tegasnya, posisi PBB dalam syariah dapat dimaknai sebagai bagian dari kemaslahatan yang menjadi fondasi syariah.
Hubungan muslim dan kafir dalam term fikih klasik digambarkan sebagai perlindungan atau permusuhan: Kafir Dhimmi dan Harbi. Term ini digunakan dalam diskursus mainstream fikih klasik, yaitu terkait non-muslim sebagai sahabat atau musuh. Di sinilah bagaimana bersyariah melalui forum fikih peradaban direformulasi kembali.
Cara pandang terhadap fikih bagi NU sangat penting, karena kehidupan berbangsa dan bernegara sangat dipengaruhi oleh penafsiran teks agama itu sendiri. Fikih peradaban ingin mengembalikan tujuan syariah dalam bingkai maqashid al-syariah dan maslahat sebagai fondasi beragama sehingga mengikuti sistem aturan PBB, terlepas dari kelemahannya, telah sesuai syariah. Secara umum kemaslahatan PBB berhasil menjaga otonomi negara dari gangguan negara lain dan mendorong perlindungan hak asasi manusia.
Kontekstualisasi penafsiran
Sudah populer di kalangan ulama bahwa sumber hukum Islam secara hirarkis dirumuskan melalui al-Quran, al-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Penggunaan pendekatan ini di masa sekarang masih membatasi pembaruan Islam. Qiyas walaupun disebut bagian dari cara rasional dalam berhukum, masih bersanding dengan pendekatan literalis ketika dituntut untuk menjawab masalah global yang kompleks. Hal ini diamini Ahmet T Kuru (2022) seorang ilmuan kontemporer dalam karyanya Muslim Politics Between Sharia and Democracy, yang menegaskan bahwa 'kegagalan syariah dalam merespons perkembangan modern terletak pada metode berijtihad yang mengabaikan partisipasi publik, argumen rasional dan penggunaan observasi empiris'. Ia menyarankan penggunaan maqashid al-syariah sebagai prinsip yang paling relevan dalam memperkuat demokratisasi.
Konsep kafir Dhimmi, non-muslim dalam perlindungan negara Islam, larangan mendirikan rumah ibadah bagi yang beda agama adalah cara pandang yang masih melekat dalam fikih klasik khususnya dalam kitab fikih Syafi’iyyah. Dimasa abad pertengahan kebijakan hukum seperti ini berlaku bagi Yahudi dan Nasrani. Saat ini, keberadaban bangsa diukur pada kesetaraan dan keadilan yang menjadi hak warga negara.
Kembali pada Islam semestinya dimaknai dalam kerangka nilai-nilai agung inklusif yang menjadi prasyarat utama demokrasi. Oleh karena itu, cara pandang maqashid al-syariah dan maslahat perlu menjadi pondasi dalam memperkuat fikih peradaban. Paradigma amr makruf dan nahyi munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kejahatan) perlu diterapkan dalam menjaga derajat kemanusiaan bagi perdamaian dan harmoni global, bukan direduksi dengan penafsiran literal.
Pembiaran penafsiran hukum yang merujuk pada pendekatan literalis dan analogi telah menjadi belenggu peradaban Islam. Tujuan mulia derajat kemanusiaan yang perlu dilindungi seperti kebebasan dan keadilan tidak boleh direduksi oleh sudut pandang hukum yang rigid. Kontekstualisasi penafsiran hukum menjadi conditio sine qua non-Islam rahmatan lil-alamin yang selalu perlu diperkuat.
Gagasan Gus Yahya dengan fikih peradaban ini perlu diapresiasi dan didukung dengan berbagai program dan langkah strategis. Pertama, konsep fikih peradaban perlu menjadi agenda utama kajian strategis di pesantren dan lembaga pendidikan Islam khususnya perguruan tinggi keagamaan. Hal ini krusial karena lembaga ini menjadi basis pengembangan ilmu keislaman yang terdiseminasi di masyarakat.
Kedua, diskursus fikih peradaban perlu dijadikan landasan kebijakan negara dalam membuat regulasi kenegaraan dan kebangsaan sebagai upaya memperkuat demokratisasi. Semoga upaya ini menjadi momentum pembaruan Islam di abad kedua Nahdhatul Ulama.
Asep Saepudin Jahar, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/557049/kontekstualisasi-keberagamaan-melalui-fikih-peradaban