Membangun Integritas Akademik untuk Indonesia Unggul
Prof. Dr. Zulkifli, MA
Guru Besar Antropologi Sosial Budaya/Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Akhir-akhir ini, isu pelanggaran akademik di Indonesia semakin mencuat. Hasil studi dokumen Macháček & Srholec (2022) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua dalam kasus publikasi di jurnal predator secara global. Satu tingkat di bawah Kazakhstan dengan 16,73% publikasi di jurnal predator. Sesuai dengan namanya, jurnal predator adalah jurnal yang diragukan reputasinya dan memangsa penulis dengan biaya publikasi yang mahal, cepat, dan tanpa proses review yang benar. Studi tersebut juga menunjukkan kerentanan yang tinggi terhadap publikasi di jurnal predator pada negara-negara berkembang yang mendorong peningkatan publikasi internasional di Asia dan Afrika Utara. Para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yakni Fachri Aidulsyah dkk juga menemukan bahwa 8 dari 10 profesor (80%) telah menerbitkan karyanya di jurnal predator atau berpotensi predator atau yang tidak dapat diandalkan kredibilitasnya (https:// www.kompas.id/artikel/guru-besar-indone- sia-terjerat-jurnal-predator). Sedangkan isu terkini yang sempat viral di media sosial adalah “capaian luar biasa” seorang menteri yang di tengah kesibukannya dapat menyelesaikan studi doktoralnya pada universitas terkenal di Indonesia dalam waktu 20 bulan. Tentu banyak spekulasi yang berkembang berkenaan dengan peristiwa tersebut. Semuanya bermuara pada isu integritas akademik.
Selain itu, laporan investigasi Kompas (2023), misalnya, mengungkapkan bahwa praktik perjokian dalam penulisan karya ilmiah bahkan melibatkan calon guru besar sebuah kondisi yang menunjukkan terjadinya pelanggaran integritas di kalangan akademisi (https:// www.kompas.id/baca/investigasi/2023/02/09/calon-guru-besar-terlibat-perjokian-karya- ilmiah). Laporan Tempo (7 Juli 2024) juga mengungkap skandal proses pencapaian guru besar dengan mengajukan artikel jurnal predator dan berkomplot dengan asesor, suatu proses yang tidak akuntabel dan mengandung indikasi pelanggaran integritas akademik. Bahkan, beberapa waktu lalu seorang rektor di sebuah universitas Islam negeri harus dicopot karena tersandung kasus plagiasi, selain jenis pelanggaran lain. Sebagaimana diberitakan dalam media nasional, nasib buruk menimpa sejumlah guru besar Universitas Lambung Mangkurat yang dikaitkan dengan isu pelanggaran integritas akademik dan sekaligus berakibat pada penurunan akreditasi universitas tersebut. Kasus-kasus tersebut merupakan indikasi perilaku yang bertentangan dengan integritas akademik, yakni “komitmen dalam bentuk perbuatan berdasarkan nilai-nilai luhur dalam melaksanakan kegiatan tridharma perguruan tinggi” dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, kepercayaan, keadilan, kehormatan, tanggung jawab, dan keteguhan hati (Permendikbudristek nomor 39 tahun 2021). Bagaimana menjelaskan berbagai bentuk praktik pelanggaran integritas akademik tersebut?
Pelanggaran akademik atau pelanggaran ilmiah dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap kode etik ilmiah dan akademik dalam penelitian dan publikasi ilmiah, yang mencakup pelanggaran metode dan etika penelitian ilmiah baik dalam aspek perancangan, pelaksanaan, maupun pelaporan penelitian. Dalam Permendikbudristek di atas dikemukakan enam bentuk pelanggaran akademik dalam publikasi ilmiah, yakni fabrikasi, falsifikasi, plagiat, kepengarangan yang tidak sah, konflik kepentingan, dan pengajuan jamak atau pengajuan berulang. Publik, baik akademisi maupun awam, tentu telah sering mendengar istilah plagiat sebagai tindakan kriminal “mencuri” karya orang lain dan diakui sebagai karyanya sendiri. Tetapi plagiat tidak hanya berbentuk perbuatan mengambil seluruh atau sebagian karya atau gagasan orang lain tanpa menyebut sumbernya tetapi juga dapat berbentuk perbuatan menyalin ulang tulisan orang lain tanpa melakukan parafrase meskipun menyebutkan sumbernya. Bentuk pelanggaran plagiat ini justeru cukup sering terjadi di kalangan akademisi meskipun kurang mendapat perhatian serius.
Namun, bentuk pelanggaran integritas akademik yang sering dilakukan tetapi sulit dibuktikan atau cenderung diabaikan adalah kepengarangan yang tidak sah, yakni “kegiatan seseorang yang tidak memiliki kontribusi dalam sebuah karya ilmiah berupa gagasan, pendapat, dan/atau peran aktif yang berhubungan dengan bidang keilmuan” (Permendikbudristek). Dua bentuk yang paling dilakukan tampaknya adalah bergabung sebagai pengarang bersama tanpa kontribusi apa pun dan menyuruh orang lain membuatkan karya atas nama dirinya atau biasa disebut perjokian atau kepengarangan melalui ghostwriter. Dalam laporan investigasi Kompas tahun 2023, perjokian dalam pengajuan proses pencapaian guru besar telah melibatkan pejabat struktural kampus, dosen, dan mahasiswa. Di antara karya-karya tulis yang berupa artikel yang diterbitkan di jurnal-jurnal predator sangat mungkin terdapat hasil produksi ghostwriter tersebut. Demikian juga, boleh jadi artikel-artikel jurnal yang diajukan dalam proses guru besar dari kalangan pejabat dan politisi adalah hasil dari produksi joki sebagaimana dilansir Tempo tersebut.
Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran integritas akademik tersebut. Asep Muhammad Iqbal mengungkapkan keterkaitan antara faktor ambisi pribadi, tekanan publikasi, dan godaan jurnal predator sebagai penyebab semaraknya publikasi di jurnal predator (https://jabar.nu.or.id/opini/ambisi-menjadi-profesor-dan-godaan-jurnal-predator-krHOd). Faktor-faktor yang lebih lengkap mencakup tekanan publikasi, nafsu untuk maju dan terkenal, masalah personal, material interest, dan faktor kultural. Semua faktor ini saling berkaitan satu sama lain. Tekanan publikasi dapat terjadi khususnya bagi guru besar yang dikenai kewajiban khusus per tiga tahun, yakni publikasi satu artikel jurnal internasional bereputasi atau tiga artikel jurnal internasional dan satu buku. Setiap guru besar harus memenuhinya jika ingin tetap dianggap guru besar yang berhak mendapat tunjangan kehormatan sebesar dua kali gaji pokok setiap bulan. Artinya, ini juga terkait aspek materi dan tentu saja merupakan bagian penting dari konsekuensi profesi dosen.
Hanya saja, jabatan akademik guru besar itu sering kali disalahpahami. Banyak yang secara salah memahami guru besar atau profesor sebagai gelar yang dapat diperoleh oleh siapa saja. Padahal, guru besar atau profesor itu jabatan akademik tertinggi bagi dosen, setara dengan jendral di kepolisian dan ketentaraan, atau setara dengan gelar Kiai Haji di masyarakat Muslim sehingga orang yang jabatannya bukan dosen tidak berhak mendapatkannya. Jika itu terjadi, tentu ada sesuatu yang janggal dan bahkan mungkin dapat terkait dengan isu pelanggaran integritas akademik seperti kepengarangan yang tidak sah. Orang yang tidak terlatih dalam menulis artikel jurnal ilmiah melalui proses perjalanan akademik yang panjang sejak asisten ahli (AA), lektor (L), dan lektor kepala (LK) hingga guru besar tidak mungkin dapat menghasilkan karya ilmiah yang dapat dipercaya. Demikian juga, jika tidak terlibat atau tidak berpengalaman dalam berbagai kegiatan penelitian mulai dari merancang, mengumpulkan data, memproses dan menganalisis data, serta menulis hasil penelitian, mana mungkin orang dapat menghasilkan karya ilmiah yang baik dan dapat dipublikasikan di jurnal ilmiah bereputasi. Melakukan penelitian dan memublikasikannya dalam bentuk artikel jurnal ilmiah termasuk menulis judul, abstrak, pendahuluan, metode penelitian, hasil, pembahasan, dan kesimpulan dalam karya tulis yang sesuai dengan kaidah ilmiah memerlukan pembiasaan dan pengalaman. Bahkan, dalam menjawab hasil telaah dari reviewer diperlukan kompetensi, keterampilan, dan bahan kesabaran.
Karena ambisis pribadi, mentalitas menerabas (jalan pintas), dan dukungan peluang yang ditawarkan jurnal predator berkontribusi terhadap tindakan pelanggaran integritas akademik. Koentjaraningrat (1985) mengartikan mentalitas menerabas sebagai “mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuannya secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara langkah demi langkah” (1985: 46). Orang yang memiliki mentalitas menerabas tidak menghargai proses dan tidak memahami arti penting kualitas tetapi hanya berorientasi hasil untuk memenuhi ambisi pribadi. Kira-kira: “yang penting jadi guru besar dan dipanggil prof.”
Dampak negatif dari pelanggaran integritas akademik tentu sangat merugikan. Tidak hanya kehilangan kredibilitas dunia akademik secara umum yang diperoleh tetapi akademisi secara inividu juga merasakan stigma negatif. Kita mendapat informasi, misalnya, bahwa para akademisi internasional diberi peringatan untuk berhati-hati jika ingin berkolaborasi dengan akademisi dari Indonesia. Padahal ekosistem akademik Indonesia akan terbangun dengan baik jika para akademisi dan ilmuan internasional bergabungan dan berkolaborasi dalam berbagai aktivitas akademik yang pada gilirannya berkontribusi dalam peningkatan daya saing bangsa dan pembangunan masyarakat. Data The World Bank (2011) dan UNESCO (2021) menunjukkan adanya keterkaitan antara kualitas pendidikan tinggi dan integritas akademik. Di negara-negara dengan tingkat integritas yang tinggi, kontribusi pendidikan tinggi terhadap pembangunan masyarakat jauh lebih positif. Sebaliknya, di negara-negara yang tingkat integritas akademik rendah, hasil pendidikan tinggi seringkali tidak optimal dan bahkan cenderung memperlebar kesenjangan kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu, pendidikan tinggi mesti membersihkan diri dari tindakan-tindakan yang mengarah kepada pelanggaran integritas akademik baik di kalangan mahasiswa maupun dosen serta tidak memberi ruang kepada orang-orang non-akademisi yang memiliki mentalitas menerabas masuk ke perguruan tinggi.
Penguatan integritas akademik berarti menghargai setiap proses penelitian, penulisan, dan publikasi sebagai upaya untuk menambah khazanah pengetahuan baru, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, meningkatkan reputasi individu dan lembaga, dan meningkatkan daya saing bangsa. Kementerian terkait harus mampu merumuskan kebijakan pendidikan yang tepat, berkualitas dan berkesinambungan. Universitas memiliki peran penting untuk mengedepankan program-program etika akademik, menyosialisasikan integritas akademik sebagai upaya pencegahan terhadap bentuk-bentuk pelanggaran integritas, memastikan para mahasiswa dan dosen paham dan taat pada kode etik, dan menerapkan reward and punishment berkenaan dengan capaian akademik. Sebagai tenaga profesional, dosen terus berupaya meningkatkan kompetensi yang diperlukan dan menjunjung tinggi integritas akademik dalam rangka melipatgandakan kinerja profesionalnya sehingga dapat menjadi role model bagi sejawat dan mahasiswa. Singkatnya, adalah satu keniscayaan bagi seluruh pihak untuk meningkatkan ekosistem akademik yang dapat meneguhkan komitmen terhadap integritas akademik sebagai prerequisite bagi investasi kualitas sumber daya manusia Indonesia yang Unggul dan berdaya saing tinggi.(JA)