Memutus Rantai Kekerasan di Sekolah
Memutus Rantai Kekerasan di Sekolah

Kasus kekerasan di lingkungan sekolah masih saja terjadi. Data dari Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan selama 2023 terjadi 30 kasus perundungan di pelbagai satuan pendidikan. Bila ditelusuri lebih lanjut, sebanyak 80 persen terjadi di satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), sisanya sebanyak 20 persen terjadi di satuan pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama.

Pada awal 2024 ini, publik kembali dikejutkan dengan pemberitaan kekerasan dan perundungan (bulying) yang terjadi di lingkungan sekolah. Getir dan ironi. Bukan tanpa upaya oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam menyikapi kekerasan di sekolah. Upaya yang dimaksud di antaranya mulai terbitnya regulasi melalui Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan hingga program yang digulirkan pemerintah bekerja sama dengan badan internasional khusus anak-anak (United Nation International Children's Emergency Fund/UNICEF) melalui program "Roots".

Namun, tetap saja kekerasan di lingkungan sekolah masih saja terjadi. Merespons situasi demikian perlu dicari akar persoalannya agar tidak terjadi pada waktu mendatang. Penyelesaian permasalahan secara mendasar harus dilakukan. Dimulai dari sisi hulu hingga hilir. Penyelesaian masalah ini juga berpijak pada kesadaran bersama seluruh pemangku kepentingan. Jika hal ini dilakukan secara konsisten, rantai kekerasan di lingkungan sekolah dapat diputus secara sistemik dan berkelanjutan.

Memanusiakan Anak Didik

Kekerasan di lingkungan sekolah yang dilakukan oleh anak didik harus dilihat secara komprehensif, tidak parsial, yang menjadikan pelaku kekerasan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Karena, hakikatnya peristiwa kekerasan di sekolah tidaklah berdiri sendiri. Peristiwa ini berhubungan dengan pelbagai faktor yang pada ujungnya melahirkan potret anak didik yang tak humanis, yang melakukan tindakan perundungan dan kekerasan baik verbal maupun non verbal kepada temannya yang dianggap lebih inferior.

Ruang belajar sekolah sejatinya bukanlah sekadar pembelajaran yang sifatnya mekanik yakni guru mengajar dan anak didik mendengar, namun lebih dari itu kelas sejatinya menjadi ruang percakapan yang hangat antara guru dan anak didik. Kehangatan percakapan di ruang kelas diwujudkan melalui metode, konten, serta interaksi satu pihak dengan pihak lainnya. Dengan kata lain, kurikulum yang menjadi guidance dalam kegiatan belajar mengajar merepresentasikan kehangatan percakapan di kelas yang dimaksud.

Eksistensi kurikulum pembelajaran menjadi bahan material untuk menciptakan ekosistem ruang belajar yang menghadirkan suasana percakapan yang hangat. Relasi guru dan anak didik terbangun secara humanis, hubungan antar anak didik saling respek dan peduli. Seperti keberadaan kurikulum dengan model Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diinisiasi Conny R. Semiawan, hingga Kurikulum Merdeka Belajar yang secara terbatas dimulai pada 2021 di Sekolah Penggerak di 111 kabupaten/kota, semuanya meletakkan pendidikan karakter sebagai pilar utamanya.

Ruang belajar di sekolah hakikatnya bertujuan untuk membentuk insan yang humanis, yang memiliki sikap saling memahami, tenggang rasa, toleransi, merendahkan ego, dan meninggikan solidaritas. Proses pembelajaran semata-mata bertujuan untuk menciptakan sudut pandang dan sikap yang memanusiakan manusia. Winkel (1989) menyebutkan belajar merupakan proses mental atau psikis yang terjadi ketika kita berinteraksi secara aktif dengan lingkungan sekitar. Proses ini menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai-nilai sikap. Belajar tidak sekadar berkutat dengan teori namun juga praktik dalam kehidupan sehari-hari.

Belajar menjadi manusia yang humanis berarti belajar menjadi manusia yang lebih manusiawi. Proses belajar dianggap berhasil jika memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dalam proses belajar, anak didik harus berupaya mencapai potensi terbaiknya. Memahami subjek perilaku belajar dari perspektif pelakunya, bukan dari sudut pandang orang lain. Teori humanistik ini, dalam pandangan Baharuddin dan Makin (2007), menempatkan manusia sebagai makhluk hidup yang diciptakan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu. Teori Humanistik menekankan pentingnya isi dari proses belajar yang bersifat eklektik, dengan tujuan untuk membuat manusia lebih manusiawi atau mencapai potensi terbaiknya.

Upaya yang dilakukan pemerintah melalui instrumen kurikulum merdeka mengkondisikan lahirnya anak didik yang humanis dengan berbasiskan nilai moral dalam segala tindakan. Namun, instrumen untuk melahirkan anak didik humanis tentu tidak sekadar dari sisi pemerintah semata. Dibutuhkan keterlibatan pelbagai pihak untuk bersama-sama memanusiakan anak didik yang kemudian melahirkan anak didik yang humanis. Poin ini menjadi titik pijak untuk memutus rantai kekerasan di lingkungan sekolah.

Rantai Kekerasan

Praktik kekerasan di lingkungan sekolah merupakan anomali yang amat paradoksal. Sekolah sebagai kawah candradimuka untuk menyemai nilai moral, nilai kemanusiaan, dan nilai luhur justru menjadi pembiakan praktik kekerasan. Titik paling krusial, peristiwa kekerasan tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Karena itu, memutus mata rantai kekerasan di lingkungan sekolah harus segera dilakukan.

Memutus mata rantai kekerasan di sekolah tentu tidak fair jika dibebankan kepada anak didik yang menjadi objek sentral dari sengkarut kekerasan di lingkungan sekolah. Padahal, kekerasan yang muncul di lingkungan sekolah memiliki keterhubungan satu faktor dengan faktor lainnya, satu aktor dengan aktor lainnya, serta satu sebab dengan sebab lainnya.

Penyelenggaraan pendidikan yang menitiktekankan pada kolaborasi antar pelbagai pihak menjadi salah satu langkah konkret untuk memutus mata rantai kekerasan di lingkungan sekolah. Karena, hakikatnya penyelenggaraan pendidikan di sekolah melibatkan pelbagai pihak mulai dari orangtua, anak didik, penyelenggara pendidikan, hingga pemerintah. Kerapnya, para pihak itu tidak terajut hubungan simbiosis mutualisme yang sifatnya saling menguatkan.

Tak jarang, pandangan yang muncul, saat menyekolahkan anaknya di sebuah lembaga pendidikan, peran orangtua dianggap selesai dengan mendelegasikan kegiatan belajar kepada pihak sekolah. Begitu juga sebaliknya, pihak penyelenggara pendidikan berpandangan telah menuntaskan tugasnya setelah menggelar kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Hal yang sama pemerintah sebagai pihak regulator beranggapan penyelenggaraan pendidikan dianggap selesai dengan pembentukan kebijakan dan alokasi anggaran di sektor pendidikan.

Cara pandang demikian pada akhirnya menjadikan penyelenggaraan pendidikan bersifat mekanik, di mana penyelenggaraan pendidikan meniadakan proses percakapan para pihak. Penyelenggaraan pendidikan disimplifikasi melalui operasionalisasi setiap unit dalam mesin pendidikan yang sesuai dengan setelan pemilik mesin. Padahal, para pihak yang terlibat dalam pendidikan ini tak lain adalah manusia, bukan mesin atau robot yang anti dialog dan tak ada ruang percakapan.

Percakapan yang inklusif dilakukan oleh para pihak dalam penyelenggaraan pendidikan menjadi langkah besar untuk memutus mata rantai kekerasan yang bisa saja muncul akibat terputusnya percakapan dari para pihak. Percakapan para pihak tidak sekadar komunikasi searah yang sifatnya instruktif. Namun percakapan yang dimaksud yakni terbangunnya sistem komunikasi yang konstruktif yang mencakup dari hulu hingga hilir.

Pada akhirnya, pendidikan menjadi ruang yang ideal untuk mengaktifkan percakapan yang dibangun atas dasar kemanusiaan, kesetaraan, dan kebebasan. Situasi ini akan melahirkan ekosistem yang disiplin namun memegang prinsip independensi, serta dapat diarahkan namun tidak diperbudak. Sebagaimana Henry Peter Broungham (1778-1868) sebutkan, education makes a people easy to lead, but difficult to drive; easy to govern, but impossible to enslave.

 

Satibi Satori Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Pendidikan (Puskapdik), Mahasiswa Program Doktor Pendidikan di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

Artikel ini sudah dimuat di https://news.detik.com/kolom/d-7254135/memutus-rantai-kekerasan-di-sekolah, tanggal 22 Mar 2024 11:00 WIB.