Merawat Warisan Etika Politik Buya Syafii
Merawat Warisan Etika Politik Buya Syafii

Demokrasi Indonesia tengah menghadapi tantangan serius. Meski pemilu berjalan rutin dan partisipasi elektoral tetap tinggi, substansi demokrasi justru kian menipis. Lembaga negara kehilangan daya kritisnya, partai politik terjebak dalam logika transaksional, dan masyarakat sipil mulai kehilangan kekuatan moral untuk menahan arus kooptasi kekuasaan.

Di tengah situasi itu, nama Buya Ahmad Syafii Maarif kembali menggema bukan karena ia hadir secara fisik, melainkan karena warisan moral-politiknya terasa semakin relevan. Sosok ini, yang dikenal sebagai cendekiawan Muslim, negarawan, dan mantan Ketua Umum Muhammadiyah, telah lama menegaskan bahwa politik tanpa etika adalah jalan pintas menuju kehancuran bangsa.

Demokrasi yang Kehilangan Kompas Moral

Jika merujuk pada indikator demokrasi yang diajukan oleh ilmuwan politik Larry Diamond yakni kompetisi politik, partisipasi, rule of law, dan akuntabilitas maka demokrasi kita hari ini hanya tersisa bungkusnya. Pemilihan umum memang tetap diselenggarakan, tetapi kualitas kontestasi dan integritas penyelenggaraan menjadi pertanyaan besar.

Partai politik cenderung dikuasai elite yang menjadikan lokomotif politik sebagai alat akumulasi kuasa dan kekayaan. Dalam kondisi seperti ini, suara-suara moral dari masyarakat sipil yang independen menjadi sangat penting. Namun sayangnya, banyak organisasi keagamaan yang dulunya kritis kini cenderung diam atau bahkan larut dalam arus kekuasaan. Di sinilah kehadiran sosok seperti Buya Syafii menjadi oase di tengah padang tandus politik tanpa etika.

Politik Akal Sehat dan Nurani

Buya Syafii bukanlah politikus. Tetapi sepanjang hidupnya, ia terlibat dalam politik dengan cara yang sangat khas: menjaga jarak dari kekuasaan, namun tidak absen dari wacana publik. Baginya, politik adalah bagian dari upaya menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Maka politik harus dijalankan dengan akal sehat dan nurani. Ia pernah berkata, “Berislamlah dengan akal sehat, dan berpolitiklah dengan akhlak.”

Etika politik Buya bertumpu pada tiga prinsip utama. Pertama, kejujuran intelektual, yang mendorongnya menyampaikan kritik meski tak populer. Kedua, keberpihakan pada kaum lemah, sebagaimana terlihat dalam kritiknya terhadap eksploitasi sumber daya alam yang merugikan masyarakat adat. Ketiga, komitmen pada keutuhan bangsa, yang ia buktikan dengan menolak segala bentuk politik identitas yang memecah belah.

Buya dengan tegas menolak politisasi agama demi kepentingan elektoral. Dalam berbagai kesempatan, ia mengingatkan bahwa agama adalah sumber nilai, bukan alat propaganda. Ketika politik identitas marak menjelang Pemilu 2019, ia berdiri di tengah menjaga agar keberagaman bangsa tidak dikorbankan demi kemenangan sesaat.

Menjaga Jarak, Merawat Nalar Kritis

Salah satu ciri khas Buya adalah kemampuannya menjaga jarak kritis terhadap kekuasaan, tanpa terjebak dalam oposisi buta. Ia mengapresiasi kebijakan yang baik, tetapi juga tak ragu mengkritik jika pemerintah melenceng dari prinsip keadilan. Kritik Buya terhadap pelemahan KPK, oligarki politik, dan pembiaran terhadap intoleransi agama menunjukkan konsistensinya dalam menjaga demokrasi substantif.

Sikap ini menjadikan Buya sebagai representasi ideal dari konsep civil Islam yang dikembangkan Robert W. Hefner yakni keberagamaan yang mendorong keterlibatan warga dalam membangun masyarakat sipil yang kuat, demokratis, dan toleran. Buya tak hanya mewakili Muhammadiyah, tapi juga suara moral bangsa. Sayangnya, warisan sikap seperti ini kian langka. Banyak tokoh agama dan intelektual hari ini terjebak dalam kompromi pragmatis. Mereka lebih memilih jalan aman atau justru merapat ke lingkar kekuasaan demi posisi dan akses sumber daya.

Membaca Ulang Warisan Buya

Warisan Buya tidak sekadar kutipan atau potongan pidato. Ia adalah contoh hidup dari integritas dalam kehidupan publik. Ketika banyak elite bangsa menggadaikan prinsip demi jabatan, Buya justru menolak kekuasaan ketika ditawari posisi strategis baik dalam pemerintahan maupun partai politik. Sikap ini menunjukkan bahwa moralitas politik tidak hanya soal apa yang dikatakan, tetapi juga pilihan-pilihan etis dalam praktik.

Hari ini, ketika demokrasi kita dikepung oleh gelombang pragmatisme, oligarki, dan apatisme publik, menghidupkan kembali semangat Buya adalah sebuah keharusan. Kita butuh tokoh-tokoh publik yang tidak hanya cerdas, tetapi juga jujur dan berani menjaga jarak dari kekuasaan demi menegakkan kebenaran.

Menghidupkan kembali etika politik ala Buya bukan berarti menolak kekuasaan, tetapi menjadikan kekuasaan sebagai amanah yang harus dijalankan dengan integritas. Ini penting agar demokrasi tidak hanya menjadi arena perebutan suara, tetapi juga panggung pengabdian kepada rakyat.

Buya Syafii telah berpulang, tetapi warisan moralnya belum habis. Justru dalam situasi demokrasi yang tengah mengalami regresi inilah, pemikiran dan teladannya semakin dibutuhkan. Jika para pemimpin kita masih punya keberanian untuk bercermin, maka mereka akan mendapati dalam diri Buya sebuah pelajaran penting: bahwa politik tanpa akhlak adalah kekuasaan tanpa arah. Dan bangsa tanpa arah akan mudah terombang-ambing dalam badai zaman.

Aris Munandar - Mahasiswa Politik Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Artikel ini telah tayang di Modernis dengan judul "Merawat Warisan Etika Politik Buya Syafii", Rabu, 13 Agustus 2025.