Mulyadhi Kartanegara Mengupas Inter-relasi Filsafat dan Sains dalam Islam
Gedung Perpustakaan Riset Pascasarjana, BERITA SEKOLAH: SPs UIN Jakarta, didukung oleh Klub Riset Bildung dan Perpustakaaan Riset SPs UIN Jakarta, sukses menggelar Kajian Kamisan ke-6 pada Kamis, 4 Juli 2024 dengan menghadirkan Prof. Mulyadhi Kartanegara sebagai narasumber. Dalam kesempatan ini, Prof. Mulyadhi mengupas persoalan inter-relasi filsafat dan sains dalam Islam. Tema ini penting untuk dibahas karena menurut Prof. Mulyadhi, muslim modern tengah menghadapi krisis epistemologi.
Sebagaimana yang diketahui, sains modern didominasi oleh peradaban Barat yang kental dengan paradigma rasionalis dan materialis. Paradigma ini kemudian membuat aspek pengetahuan metafisis menjadi terabaikan. Selain itu, nalar positivistik yang menganggap wujud riil hanyalah yang dapat diindera, berkonsekuensi meminggirkan kepercayan-kepercayaan metafisis dalam Islam, seperti iman pada Allah, malaikat, dan hari akhir. Oleh karena itu, dalam pandangan Barat, sains yang ilmiah hanyalah sains hasil dari observasi indera, sedangkan sains yang dengan objek metafisik dinilai tidak ilmiah dan hanya ilusi sebagai hasil spekulasi-spekulasi pikiran manusia.
Prof. Mulyadhi juga terang-terangan mengkritik kontradiksi pikiran positivistik, “Semisal mereka mengatakan, jangan percaya sesuatu yang tidak disertai bukti empiris. Ide dari ucapan mereka ini adalah perkara yang tidak dapat diindera. Jika kita ikuti anjuran mereka untuk tidak mengikuti selain yang empiris, maka ide mereka pun tidak perlu untuk dipercayai. Oleh karenanya, harus diyakini bahwa sesuatu yang tidak dapat diindera bukan berarti tidak ada.”
Lebih lanjut, Prof. Mulyadhi mengulas bukti matematis yang menunjukkan bahwa realitas itu tidak sebatas hal yang dapat diindera. “Angka dalam matematika itu sesuatu yang dapat diindra atau tidak? Jawabannya tidak, dia ada di akal, tapi tidak ada wujudnya di luar. Akan tetapi, bisa tidak kita memprediksi kapan gerhana matahari terjadi dari jauh-jauh hari? Jawabannya bisa, dengan hitungan matematis. Bukan hanya gerhana matahari, peristiwa-peristiwa alam lain juga dapat diperkirakan kejadiannya lewat matematika. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik peristiwa-peristiwa alam, terdapat ide-ide matematis yang mengatur. Maka, sekalipun tidak bisa diindera, hitungan matematis adalah suatu wujud yang riil.”
Krisis epistemologi ini sangat disayangkan oleh Prof. Mulyadhi, karena kenyataannya tradisi ilmiah Islam sudah memiliki epistemologi yang matang jauh sebelum dunia Barat mendominasi sains dan filsafat. Bahkan tidak hanya aspek epistemologis, peradaban Islam klasik yang diwakili oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi, sudah secara matang mengklasifikasikan ilmu pengetahuan, yang dalam istilah modern disebut sains, mencakup aspek ontologis, epistemologis, hingga aksiologis. Metode ilmiah yang ditempuh oleh cendekiawan muslim klasik juga tidak kalah matang, sebelum kemudian direduksi oleh sains Barat dengan meniadakan metode intuitif. Metode ilmiah khas tradisi Islam di antaranya adalah metode tajribiy (empiris), bayaniy (ekspositori), burhani (rasional), dan ‘irfani (intuisi).
Dalam ulasannya, Prof. Mulyadhi juga menghadirkan potret-potret cendekiawan muslim klasik yang memiliki keluwesan dalam mendudukkan objek pengetahuan yang empiris dan metafisik. Seperti al-Jahiz, pengarang Kitab al-Hayawan, yang mengkaji cabang ilmu zoologi. Baginya, ilmu zoologi harusnya dimasukkan juga sebagai ilmu agama. Sebab, mempelajari zoologi sama halnya mempelajari ayatullah atau tanda-tanda Tuhan yang dapat mengantarkan pada keimanan.
Kajian Kamisan kali ini disambut antusias oleh para peserta. Hal ini tampak dari kursi peserta yang lebih ramai dari biasanya. Bukan hanya mahasiswa SPs, terlihat juga beberapa peserta yang hadir berasal dari luar SPs. Merespon antusiasme peserta pada pertemuan ini, Prof. Mulyadhi berkenan menggelar diskusi membahas karya-karyanya, yang akan dilaksanakan setiap Rabu mulai pekan depan di Perpustakaan Riset SPs UIN Jakarta. (Tanzil/JA)