Negara Muslim Tak Banyak Terapkan Demokrasi
Auditorium SPs UIN Jakarta, BERITA SEKOLAH Online- SEJUMLAH negara Muslim tak serta merta menjadikan sistem politik demokrasi sebagai landasan bernegara. Sebagian malah memilih sistem monarki guna menjalankan sistem pemerintahan mereka.
Sejumlah sarjana dan intelektual Muslim, menurut Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Prof Dr Masykuri Abdillah, menganggap tidak ada hubungan yang signifikan antara Islam dan demokrasi. Mereka yang menolak demokrasi dan menganggapnya sebagai tidak sesuai dengan Islam, karena didasarkan pada sekularisme, yang memisahkan agama dan negara, serta meniadakan kedaulatan Tuhan.
Sayyid Qutb misalnya, dianggap sebagai sarjana Islam pertama yang sangat menentang sistem politik Islami. Sedangkan mereka yang mendukung penuh demokrasi berdasarkan sekularisme tanpa penyesuaian ajaran Islam.
“Ali Abd al-Raziq adalah sarjana Islam pertama yang mendukung pemisahan agama dan negara, yang berarti mendukung demokrasi berdasarkan sekularisme,” kata Masykuri saat menjadi pembicara pada seminar internasional “Islam and Democracy in Search of Democratic Models in Muslim Countries” di Aula SPs UIN Jakarta, Rabu (16/11).
Dalam makalahnya berjudul Religion and Democracy: The Compatibility of Islam and Democracy, Masykuri mengatakan kegagalan sistem demokrasi di sebagian besar negara-negara Muslim mengarah ke diskusi tentang hubungan Islam dan demokrasi. “Tidak ada kesepakatan di kalangan sarjana dan pengamat tentang hubungan agama dan demokrasi,” jelasnya.
Dia menambahkan, banyak sarjana beranggapan bahwa agama dan demokrasi tidak memiliki hubungan. Tetapi di sisi lain banyak juga yang berpendapat agama dan demokrasi memiliki hubungan jika agama dipahami dan diinterpretasikan secara progresif. “Demokrasi mengakui ekspresi kebebasan beragama,” ujarnya.
Selain Masykuri, seminar yang dibuka Rektor UIN Jakarta Prof Dr Dede Rosyada itu juga menghadirkan narasumber (antara lain) Julian Millie dari Monash University Australia, Mourad Belhassen (Duta Besar Tunisia untuk Indonesia), Dr Ali Unsal (Turki), dan Dr Hamid Slimi (Canadian Centre for Deen Studies). (ns)