Pemahaman Islam Moderat Perkuat Harmoni Sosial dan NKRI
Gedung SPs UIN Jakarta, BERITA SEKOLAH Online – Munculnya konflik, kekerasan dan terorisme di sejumlah negara telah membuka masyarakat dunia tentang perlunya mewujudkan perdamaian dan kerja sama melalui dialog antaragama,
antarbudaya, dan antarperadaban. Untuk itu perlu ada pemahaman Islam secara moderat (washatiyah) dan toleran terhadap perbedaan pendapat di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia guna menguatkan harmoni sosial dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal itu diutarakan Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta Prof Dr Masykuri Abdillah dalam seminar nasional bertajuk “Aliran-aliran Islam Kontemporer dan Implikasinya bagi Harmonisasi Sosial dan NKRI” di gedung SPs UIN Jakarta, Selasa (25/10). Selain Masykuri, pembicara lain adalah Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Prof Dr M. Atho Mudzhar, Guru Besar UIN Yogyakarta Prof Dr Amin Abdullah, Pendiri Yayasan Prakarsa Kemandirian dan Ketahanan Negara Dr As’ad Said Ali, dan Ketua Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Program Pascasarjana Universitas Indonesia Dr Muhammad Luthfi. Seminar dimoderatori Ketua Program Doktor SPs UIN Jakarta Prof Dr Didin Saepuddin.
Masykuri mengatakan, di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menunjukkan misi agama Islam, karakteristik ajaran Islam, dan karakteristik umat Islam. Karakteristik ajaran Islam adalah agama yang sesuai dengan kemanusiaan (fithrah), sedangkan karakteristik umat Islam adalah umat yang moderat (ummatan washatan). Di samping itu, terdapat pula ayat yang memerintahkan agar umat Islam berpihak kepada kebenaran (hanif), menegakkan keadilan (‘adlalah), dan kebaikan agar menjadi umat terbaik (khaira ummah).
Ayat-ayat tersebut, menurut dia, memperkuat perlunya beragama dengan sikap moderat (tawashut) sebagaimana yang banyak dipromosikan ulama mengenai konsep moderasi Islam.
“Memang ada juga kelompok-kelompok Islam yang tidak setuju dengan konsep moderasi ini karena dianggap menjual agama kepada pihak lain,” katanya.
Salah satu ulama yang banyak menguraikan tentang moderasi adalah Yusuf Qaradhawi, seorang tokoh Ikhwan moderat dan sangat kritis terhadap pemikiran Sayyid Quthb yang dianggap menginspirasi munculnya radikalisme dan ekstremisme serta paham yang menuduh kelompok lain sebagai thaghut atau kafir. Yusuf Qaradhawi setidaknya mengungkapkan 30 rambu moderasi, antara lain pemahaman Islam secara komprehensif, keseimbangan antara ketetapan syariah dan perubahan zaman, dan pengakuan terhadap hak-hak minoritas.
Karena moderasi menekankan pada sikap, maka moderasi ini pun berbeda antara satu tempat dengan tempat lain. Di negara-negara Muslim, urai Masykuri, sikap moderasi itu minimal meliputi pengakuan atas keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan.
“Kriteria dasar tersebut sebenarnya bisa juga dipergunakan untuk menyifati Muslim moderat di negara-negara minoritas Muslim, walaupun secara implementatif tetap ada perbedaan, terutama terkait dengan hubungan antara agama dan negara,” jelasnya. (ns)