Pendidikan Anti-Perundungan
Suwendi - Dosen SPs UIN Jakarta
Dalam minggu terakhir ini, kita dikejutkan dengan ledakan di SMAN 72 Jakarta yang terjadi saat pelaksanaan salat Jumat (7/11/2025). Kejadian yang mengakibatkan hingga 96 korban luka ini diduga dilakukan oleh siswa sekolah tersebut. Masih dalam proses penyelidikan motif aksi tersebut. Namun, salah satu dugaannya adalah aksi balas dendam karena perundungan (bullying) yang dialami sang pelaku. Insiden ini menunjukkan bahwa perilaku perundungan yang tidak tertangani telah memicu reaksi yang ekstrem.
Perundungan telah menjadi salah satu tantangan serius dalam dunia pendidikan kita. Bahkan, Permendikbudristek 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan telah mendudukkan perundungan sebagai salah satu bentuk kekerasan di lembaga pendidikan. Tentu, penanganan perundungan ini harus menjadi konsentrasi kita bersama.
Disadari bahwa perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan sesungguhnya bukan hanya berkaitan dengan perilaku individu seorang siswa, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, budaya, dan kelembagaan di lingkungan pendidikan tersebut. Pendidikan yang semestinya berfungsi untuk pembentukan karakter, pengembangan potensi, dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan, tetapi justeru dalam beberapa kasus menjadi arena munculnya kekerasan simbolik dan psikologis dalam bentuk perundungan. Oleh karenanya, relasi antara pendidikan dan perundungan bersifat dialektis, yakni pendidikan dapat menjadi sarana pencegahan perundungan, tetapi juga dapat menjadi lahan subur bagi tumbuhnya perilaku tersebut apabila sistem dan nilai-nilai yang mendasarinya tidak dikelola dengan baik.
Dalam perspektif sosiologis dan pedagogis, perundungan muncul sebagai gejala kegagalan institusi pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai empati, kesetaraan, dan penghargaan terhadap keberagaman. Sekolah atau institusi pendidikan yang terlalu menekankan aspek kognitif, kompetisi, dan hirarki tanpa disertai penanaman nilai-nilai humanis, cenderung melahirkan budaya kekerasan terselubung. Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan yang bersifat “banking system”, yang memperlakukan peserta didik sebagai objek yang pasif, itu berpotensi menciptakan relasi kuasa yang tidak setara. Relasi semacam ini menjadi akar struktural dari perilaku perundungan. Peserta didik yang lebih kuat, populer, atau berkuasa secara sosial menindas yang lebih lemah. Untuk itu, pendidikan yang membebaskan dan dialogis menjadi strategi kunci dalam mencegah munculnya perundungan di lingkungan lembaga pendidikan.
Dari perspektif psikologi pendidikan, perundungan dapat berdampak negatif terhadap perkembangan sosial-emosional peserta didik, baik bagi korban, pelaku, maupun saksi. Korban sering mengalami trauma, kecemasan, dan rendah diri, yang pada akhirnya mengganggu proses belajar dan perkembangan akademiknya. Sementara itu, pelaku perundungan menunjukkan kebutuhan akan dominasi dan kontrol sosial yang tidak tersalurkan secara positif, menandakan kurangnya pendidikan karakter dan pengelolaan emosi. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan yang integratif yang memadukan pola pembelajaran sosial-emosional (social emotional learning), pendidikan karakter, dan pembiasaan nilai-nilai empati itu menjadi krusial untuk menumbuhkan lingkungan belajar yang aman dan inklusif.
Pada aspek kebijakan, baik Kementerian maupun stakeholder lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab moral dan legal untuk menciptakan budaya sekolah yang bebas dari kekerasan. Program-program pencegahan perundungan perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, pelatihan guru, dan sistem tata tertib sekolah. Guru harus berperan bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembimbing dan pelindung peserta didik. Pendidikan anti-perundungan bukan sekadar kampanye moral, melainkan transformasi sistemik yang menyentuh struktur, kurikulum, serta relasi antarwarga sekolah.
Dengan demikian, praktek pendidikan yang humanis, dialogis, dan inklusif dapat menjadi benteng paling efektif untuk mencegah serta menanggulangi perundungan. Sebaliknya, sistem pendidikan yang abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan justeru dapat memperkuat budaya kekerasan. Untuk itu, komitmen kita semua terhadap pendidikan yang berkeadilan, berempati, dan berkarakter merupakan prasyarat utama bagi lahirnya lingkungan belajar yang bebas dari perundungan dan menjunjung tinggi martabat setiap individu.
