Ramadan dalam Paradoks Indonesia
Ferdian Andi, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Bulan ramadan menjadi momentum tepat dalam merefleksikan perjalanan kebangsaan dan kenegaraan. Hal ini tidak lepas dari penempatan frasa agama, tuhan, termasuk frasa sejenis lainnya ke dalam konstitusi kita. Secara fondasional, bahkan ketuhanan menjadi pilar penting dalam bernegara sebagaimana tertuang dalam sila pertama Pancasila.
Potret itu pula memunculkan konstitusi Indonesia dapat dikualifikasi dengan sebutan godly nationalism (Jeremcy Menchik, 2014), constitutionalization of religion (Dian A.H. Shah, 2017), dan godly constitution (Jimly Asshiddiqie, 2022). Penyebutan istilah tersebut tak lantas menjadikan Indonesia sebagai negara agama (teokrasi). Sebaliknya, dalam konstruksi hukum konstitusi Indonesia, jaminan kebebasan beragama kepada warganya semakin dikukuhkan.
Rafael Domingo (2017; 9) dalam God and The Secular Legal System, menyebutkan pengakuan Tuhan ke dalam sistem hukum berkedudukan sebagai metalegal yang sama sekali tidak melucuti netralitas negara di ruang publik. Keyakinan kepada tuhan secara pribadi berbeda dengan pengakuan tuhan secara hukum. Pada titik ini, negara menjalin relasi formal dan material dengan agama.
Dalam relasi formal, negara memastikan jaminan setiap warga negara menjalankan agama dan keyakinanya secara bebas, sebagaimana bunyi dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Kondisi itu dapat dilihat melalui praktik kehidupan keseharian beragama masyarakat Indonesia, tak terkecuali pada momen ramadan ini, negara aktif memfasilitasi keyakinan dan beragama warga negaranya. Kendati belum ideal, relasi formal negara dan agama relatif berjalan baik.
Sementara itu, dalam relasi material, negara tampil sebagai wakil dari jabatan (ambtenorganisatie) di ruang publik yang harus tunduk pada nalar hukum publik. Hubungan negara dan agama pada aspek material yang menampilkan sisi adiluhung nilai agama. Tindakan negara melalui peraturan (regeling), kebijakan (beleid), keputusan (beschikking), maupun penetapan perencanaan (het plan) mestinya termanifestasikan oleh nilai dan spirit agama.
Pada poin ini, pembacaaan secara moral terhadap konstitusi (moral reading constitution), sebagaimana diintrodusir Ronald Dworkin dalam Freedom’s Law, The Moral Reading of The American Constitution (1996; 12), mesti dilakukan. Apalagi bila membaca pikiran para pendiri bangsa (the founding father’s) terhadap keberadaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak hanya sekadar saling hormat menghormati antaragama, namun lebih dari itu menjadi dasar ke jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan. (Yudi Latif, 2011; 115)
Pejabat publik silih berganti secara berkala, baik melalui mekanisme pemilihan umum maupun penunjukan politik, namun pada kenyataannya, masalah publik terus bermunculan dan menumpuk. Persoalan lama belum tuntas dibereskan, muncul masalah baru yang tak kalah pelik. Anatomi persoalan lama dan persoalan baru pun tak jauh berbeda.
Pada titik ini, negara tampak surplus dalam membangun relasi formal dengan agama. Jaminan dan dukungan negara dalam fasilitasi beragama warga dilakukan secara melimpah. Bahkan melalui skema law benefiting religion (Keith N. Hylton, Yulia Rodionova, & Fei Deng, 2011), negara memberi konsesi izin tambang untuk ormas keagamaan. Negara tampak tampil terdepan dalam urusan relasi formal dengan (ormas) agama.
Ekspresi negara dalam relasi formal dengan agama salah satunya ditunjukkan melalui Kementerian Agama yang bertugas pada urusan keagamaan. Negara tampak hadir saat memfasilitasi ormas keagamaan dalam penetapan (itsbat) awal ramadan maupun 1 syawal. Situasi yang sama saat menyambut momen keagamaan agama lainnya.
Pada saat bersamaan, relasi material negara dan agama justru mengalami defisit. Nilai agama yang luhur tak hadir di ruang publik penyelenggara negara. Sejumlah peristiwa memantik keprihatinan publik. Seperti praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), pengenyampingan kebebasan berekspresi, pengabaian atas hak dasar warga, serta masalah sosial lain.
Relasi materail agama dan negara menampilkan wajah paradoks Indonesia. Negara dan agama surplus dalam membangun relasi formalnya, namun di saat yang bersamaan negara dan agama mengalami defisit dalam membangun relasi materialnya. Linieritas dan keseimbangan antara aspek formil dan material tak mewujud.
Situasi paradoks tersebut dapat dilihat dari sejumlah persoalan yang dipotret oleh warga di media sosial melalui tanda pagar sebagai ekspresi protes atas situasi yang dinilai kurang ideal seperti #IndonesiaGelap, #KaburAjaDulu, termasuk meme “Liga Korupsi” yang memuat daftar korupsi besar yang merugikan keuangan negara secara fantastis.
Di pemerintahan Prabowo Subianto, sektor agama dimasukkan dalam asta cita ke-8 yang menjadi salah satu sektor yang dinilai penting. Titik tekan isu agama dalam asta cita ini yakni soal kerukunan dan toleransi umat beragama sebagai salah satu instrumen untuk mencapai keadilan dan kemakmuran warga.
Di bagian lain, penegasan komitmen negara untuk menjamin kebebasan memeluk agama dan kepercayaan warga negara. Begitu juga program kerja turunan di bidang keagamaan menitiktekankan pada layanan keagamaan yang lebih baik. Termasuk belakangan muncul “kurikulum cinta” yang diberlakukan di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan.
Visi, gagasan, narasi, dan program kerja pemerintah di bidang keagamaan dalam praktiknya masih berkutat pada urusan relasi formal negara dan agama. Bila pun hendak menyentuh persoalan material agama, justru tampak terjebak pada urusan kemasan (packaging) daripada substansi ide yang dimaksud.
Pemerintah sebagai pemegang mandat dan otoritas pelaksanaan konstitusi dan peraturan perundang-undangan semestinya masygul dengan suguhan data yang menunjukkan sisi paradoks Indonesia.
Seperti temuan CeoWorld Magazine pada 2024 lalu, Indonesia menduduki rangking ketujuh sebagai negara paling religius di dunia sebesar 98,7%. Indikator yang digunakan berupa masyarakat yakin terhadap keberadaan Tuhan serta masyarakat taat menjalankan ajaran agamanya. Temuan itu juga tampak terkonfirmasi bila melihat kegairahan beragama di Indonesia.
Namun, di saat bersamaan data kontradiktif muncul tentang praktik korupsi di Indonesia yang tak kunjung surut. Seperti data yang dirilis Kejaksaan Agung sepanjang tahun 2024 negara mengalami kerugian karena dugaan korupsi sebesar Rp 310 triliun, 7,88 juta U$, dan 58,135 emas. Begitu juga temuan Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi BBM sebesar Rp 193,7 triliun yang belakangan menjadi perhatian publik.
Wajah paradoksal Indonesia ini saatnya diakhiri dengan berikhtiar secara sungguh-sungguh untuk menyeimbangkan relasi formal dan material dalam hubungan negara dan agama. Negara tak hanya berjibaku pada urusan formal beragama, namun lebih substansial lagi menjadikan nilai ketuhanan (agama) sebagai spirit dalam pengelolaan penyelenggaraan negara.
Ramadan menjadi momen baik untuk koreksi kolektif apakah bernegara kita telah sesuai atau tidak dengan cita-cita para pendiri bangsa yang menempatkan ketuhanan dan agama dalam konstitusi kita? Apalagi UUD 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bertepatan pada 10 Ramadan 1364 hijriah atau 18 Agustus 1945. Semoga spirit kebajikan ramadan memantik bangsa ini naik kelas menjadi lebih baik.
Artikel ini tayang di Koran Tempo, edisi Rabu (19/3/2025).
Sumber: https://www.tempo.co/kolom/ramadan-dan-paradoks-indonesia-1221414