Rejuvenasi 'Civil Islam' dan Kementerian Agama
Jakarta - Dalam acara Annual International Conference for Islamic Studies (AICIS) 20-22 Oktober, 2022 di Lombok Menteri Agama H Yaqut Cholil Qoumas menegaskan kembali perlunya memperkuat keberagamaan yang inklusif, berkeadaban, dan rahmatan li-l 'alamin. Ada tiga hal penting yang dijelaskan, yaitu: rekontekstualisasi Islam, kedamaian, dan moderasi. Gagasan keagamaan ini perlu dicermati mengingat posisi kementerian agama yang sangat strategis dalam mendiseminasikan narasi keagamaan di lembaga-lembaga pendidikan madarsah, pesantren, hingga perguruan tinggi. Di lembaga pendidikan ini doktrin agama direproduksi dan menjadi bagian kehidupan praksis di masyarakat.
Pertanyaannya, bagaimana Kementerian Agama dengan RPJM 2020-2024 mewujudkan kebijakan Islam yang berorientasi pada Islam damai dan harmonis?
Tantangan keberagamaan yang mengarah pada konflik diawali oleh cara pandang yang eksklusif dan intoleran. Hampir seluruh belahan dunia dihadapkan pada keberagamaan yang sering menimbulkan disharmoni. Doktrin agama yang mengklaim kebenaran tunggal dan membenci mereka yang tidak seiman sering menimbulkan konflik.
Riset PPIM tahun 2020 menggambarkan bahwa narasi paham keagaman didominasi konservatisme dengan 67,2 %; sementara mereka yang moderat hanya 22.20% , diikuti paham Islamis 4,5% dan 6,1% liberal.
Riset serupa di tahun 2017 menemukan 58,50% pandangan radikal di kalangan mahasiswa perguruan tinggi. Sikap radikal ini dikonfirmasi dalam riset tahun 2018 bahwa terdapat pengaruh guru agama 56,90% yang berpandangan intoleran dan bahkan terdapat 46,09% yang memiliki opini radikal. Data ini menunjukkan adanya problem serius dalam keberagamaan yang kita perlu benahi.
Kontekstualisasi Islam Potret ekslusivisme dan Islamisme dalam beragama dipengaruhi oleh cara pandang penganutnya pada doktrin agama. Ajaran agama sering dilihat dari satu sisi yang menganggap adanya kebenaran tunggal, sementara yang diluar dirinya adalah salah.
Cara pandang ini biasanya diawali dengan melihat makna literal teks agama (religious scripture) sebagai petunjuk untuk hidup di dalam masyarakat. Kelompok literalis ini menafikan penafsiran filosofis dan komprehensif.
Sebab itu, kelompok ini cenderung menganggap pemahamannya yang paling benar. Pada sisi lain, sikap seperti ini juga menghadapkan dirinya eksklusif pada realita yang berbeda saat ini yang tidak ditemukan secara literal pada teks agama. Maka itu terdapat upaya pencarian Islam yang murni (Islam otentik) dengan kembali ke masa Islam klasik, dikenal dengan gerakan salafi.
Merujuk pada contoh salaf dijadikan sebagai model ideal dalam kehidupan. Pola seperti ini akhirnya menghadirkan model Islam yang eksklusif dan menganggap dirinya yang paling genuine dan benar.
Data riset di atas mengkonfirmasi masih kuatnya ciri Islam salafi di masyarakat. Secara teologis, pemaknaan teks agama selalu menyajikan multitafsir yang dipengaruhi oleh perspektif yang digunakan. Namun secara alamiah keber-Islam-an dalam konteks sosial saat ini berbeda dengan di masa awal teks agama diturunkan. Bahkan Rasulullah pembawa risalah agama hadir pada konteks sosial dan budaya yang berbeda. Yang tetap ada yaitu nilai-nilai atau spirit yang menjadi pilar utama keberislaman. Di sinilah kebutuhan untuk kontekstualisasi Islam menjadi suatu keniscayaan.
Arah kontekstualisasi Islam dimaksudkan untuk menyegarkan kehadiran ajaran Islam masa awal yang mampu merespons modernitas, sehingga agama tidak dianggap sebagai candu (Marx: 1844, Die Religion....ist die Opium des Volkes), agama menjadi candu bagi rakyat. Sebaliknya, agama menjadi penyangga kemanusiaan yang menjiwai sistem kehidupan masyarakat. Di sinilah letak Islam humanis yang seyogyanya menjadi arah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Posisi Islam humanis ini searah dengan agenda keberagamaan yang digagas oleh kementerian agama (2020-2024) yaitu pengarusutamaan moderasi beragama yang berakar pada lima aspek: mengembangkan cara pandang, sikap, dan praktik keagamaan jalan tengah (wasathiyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki dan perempuan, menjunjung tinggi keadaban mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia yang diwujudkan dalam sikap hidup amanah, adil, toleran, kasih sayang terhadap umat manusia tanpa diskriminasi, serta menghormati kemajemukan.
Rejuvenasi 'civil Islam' Dalam memperkuat kebangsaan rejuvenasi 'civil Islam' adalah konsep yang relevan bagi keberagamaan di Indonesia. 'Civil Islam' yang dipaparkan oleh Robert W Hefner (2000), menjelmakan Islam yang toleran, pluralis, demokratis, inklusif, humanis, pro-perubahan sosial, berprinsip pada kesetaraan gender, serta menjunjung tinggi nilai-nilai "keadaban" (civility). Robert W Hefner (2000) dalam bukunya, 'Civil Islam: Muslims and Democratizations in Indonesia' menjelaskan bahwa proses demokratisasi dan ide-ide tentang demokrasi, civil society, civic pluralism, civil liberties, bisa hadir di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim. Klaim seperti ini tentu tidak bisa muncul dari ruang kosong. Civil Islam bisa hadir jika inkubasi keber-Islam-an yang inklusif, humanis dan, kontekstual menjadi pembiasaan di masyarakat. Maka pemahaman Islam inklusif, moderat, dan humanis adalah kunci penting jargon civil Islam.
Anti-tesis civil Islam, meminjam istilah Hefner, berarti melawan kehadiran 'uncivil Islam', yaitu jenis atau varian keislaman yang ekstrem, intoleran, konservatif, radikal, militan, puritan, misoginis, anti demokrasi, kontra-kemajemukan atau pluralitas, eksklusif, inward looking, anti-perubahan, serta menggunakan cara-cara kekerasan. Singkatnya, 'uncivil Islam' adalah 'Islam yang tidak berkeadaban'. Islam model ini terkonstruksi oleh pemahaman yang eksklusif dan a-historis. Kebenaran agama biasanya dipahami dengan hanya memperhatikan narasi literal teks. Sementara konteks sosial dan budaya yang mengitari kehadiran teks diabaikan. Pada sisi lain, doktrin agama juga digunakan sebagai kepentingan mainstreaming ideologi aliran yang dianutnya. Sebab itu, muncullah kemudian Islam politik yang menonjolkan kekerasan dan intoleran.
Reformasi pendidikan Islam Pilar utama pemahaman keagamaan berada pada sistem pendidikan agama dan sebaran paham yang ada di masyarakat. Posisi ini sangat strategis hadir di Kementerian Agama. Instrumen ini penting karena Kementerian Agama mengelola sistem pendidikan agama formal seperti madrasah, pesantren, hingga perguruan tinggi. Di samping itu, unsur keberagamaan juga ada pada bimbingan masyarakat dan keagamaan dari agama-agama, seperti Islam, Katholik, Kristen, Hindu dan Budha. Artinya, agenda keberagamaan akan beririsan dengan bagaimana konstruksi sosial keberagamaan dikelola. Paling tidak ada beberapa hal Langkah kementrian agama memperkuat civil islam.
Pertama, penguatan keagamaan humanis. Program ini dilakukan dengan menyegarkan kembali pemahaman tokoh agama, guru, dan akademisi bagaimana ajaran Islam dan agama lainnya adalah sebagai penyangga kedamaian. Hal ini dilakukan dengan cara kontekstualisasi norma agama masa klasik diadaptasikan pada masa kini. Tujuan beragama untuk penguatan kasih sayang adalah jargon penting yang menjadi agenda utama.
Kedua, penguatan sumber daya manusia (SDM) yang memahami agama Islam inklusif. Pendekatan ini harus menjadi agenda pada tiap level lembaga pendidikan (formal dan non-formal) dan lembaga sosial masyarakat. Islam inklusif dimaksudkan untuk memperkuat civil Islam sehingga menghadirkan suasana kedamaian dan toleran di masyarakat.
Ketiga, kolaborasi penguatan Islam moderat di lingkungan kementrian pendidikan dan kebudayaan. Pendekatan ini memperkuat keber-Islam-an sivitas akademika dari tingkat TK, SD,SMP, SMU dan PT. Upaya ini akan menjadi bagian dari penguatan civil islam humanis, toleran dan inklusif sehingga mampu memperkokoh Pancasila dan NKRI.
Prof Asep Saepudin Jahar, PhD Direktur sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-6369428/rejuvenasi-civil-islam-dan-kementrian-agama.