Wamenag Zainut Tauhid Raih Gelar Doktor dari SPs UIN Jakarta
Wamenag Zainut Tauhid Raih Gelar Doktor dari SPs UIN Jakarta

Gedung SPs UIN Jakarta, BERITA SEKOLAH Online – Wakil Menteri Agama RI Zainut Tauhid Sa’adi memperoleh gelar doktor dari Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta. Disertasinya berjudul Kontestasi Ideologi Politik Gerakan Islam Indonesia di Ruang Publik Digital berhasil dipertahankan di depan tim penguji pada Sidang Promosi Doktor yang digelar secara virtual, Kamis (5/8/2021).

Sidang Promosi Doktor pria kelahiran Jepara, Jawa Tengah, pada 20 Juli 1963 itu cukup menyedot perhatian berbagai kalangan. Ia disaksikan oleh sekira 350 pengunjung yang disiarkan melalui platform Zoom Cloud Meetings. Bahkan ia juga mendapat ucapan selamat dari Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin.

Di antara pengunjung yang hadir tampak Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, dan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Yudian Wahyudi. Tak hanya itu, sejumlah pejabat lain di jajaran Kementeran Agama juga ikut hadir, termasuk Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali Komang Sri Marhaeni.

Pada Sidang Promosi Doktor tersebut, Zainut Tauhid berhasil meraih predikat Memuaskan dengan nilai 3,72. Tim penguji dipimpin Direktur SPs UIN Jakarta Asep Saepuddin Jahar dengan anggota penguji Amany Lubis (Rektor UIN Jakarta dan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum), Zulkifli (Guru Besar Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), Didin Saepuddin (Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora), Masykuri Abdillah (Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum), dan Munzier Suparta (Guru Besar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan).

Dalam disertasi setebal 300 halaman itu, Zainut Tauhid mengatakan, ruang publik digital dinilai telah memfasilitasi gerakan Islamis untuk memproduksi dan mendistribusikan wacana ideologi politik alternatif di luar batasan sempit lembaga formal dan politik elektoral.

Namun, kata dia, ketiadaan saluran kelembagaan formal dan pembatasan akses politik elektoral itu tidak menghalangi kelompok Islamis untuk menjadi politis dan memengaruhi masyarakat dan negara.

Meskipun pemerintah berupaya membatasi struktur peluang politik bagi kelompok-kelompok Islamis, sebagaimana tercermin dalam kebijakan pembubaran Hizbut Tahir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), namun hal tersebut tidak menghalangi mereka untuk memengaruhi persepsi dan opini publik di ruang digital.

“Dalam arena yang tidak sepenuhnya bisa dijangkau oleh pemerintah inilah kelompok-kelompok Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah memainkan peran utama dalam membendung narasi radikal dan anti-sistem yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok Islamis sambil terus berupaya mempertahankan Pancasila dan NKRI sebagai hasil konsensus bersama,” jelasnya.

Dengan demikian, menurut Master lulusan Universitas Satyagama Jakarta, tersebut, baik gerakan Islamis maupun organisasi Islam arus utama sama-sama menggunakan media digital secara kreatif dan produktif dalam rangka memasarkan wacana ideologi politik yang mereka yakini kepada warganet Muslim Indonesia.

Wamenag mengatakan, gerakan Islamis berpendapat bahwa akar keterpurukan umat Islam Indonesia bersumber dari penerapan ideologi sekuler Barat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Solusi untuk mengatasi problematika tersebut adalah penegakan ideologi Islam dan penerapan syariah Islam secara komprehensif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Pembingkaian wacana ideologi politik alternatif yang dikonstruksi oleh HTI dan FPI ini menunjukkan bahwa gerakan Islamis menggunakan bingkai identitas sebagai bingkai utama dalam memformulasikan masalah dan solusi umat Islam Indonesia,” beber Wamenag.

Oleh karena itu, menurut Wamenag, dalam rangka mempropagandakan wacana ideologi politik alternatif tersebut, gerakan Islamis menggunakan internet dan media sosial secara kreatif dan produktif sebagai perangkat penjembatan bingkai dan perluasan bingkai. Mereka memproduksi wacana ideologis dalam bentuk teks, gambar, audio-visual, meme, infografis dan sebagainya untuk memengaruhi persepsi publik dan mendorong umat Islam untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif.

Pada bagian lain disertasinya, Wamenag juga mengungkapkan bahwa bingkai aksi kolektif yang disodorkan oleh gerakan Islamis harus berhadapan dengan bingkai aksi tandingan yang disodorkan oleh organisasi Islam arus utama, seperti NU dan Muhammadiyah.

Kedua ormas Islam ini secara kreatif dan produktif juga melakukan pembingkaian tandingan di ruang publik digital untuk melawan narasi radikal dan anti-sistem yang dihembuskan oleh kelompok Islamis sekaligus menegaskan posisi ideologis dan komitmen mereka terhadap Pancasila dan NKRI sebagai “Negara Kesepakatan” (Dar al-Mithaq) dan “Negara Perjanjian dan Kesaksian” (Dar al-‘Ahd wa al-Shahadah).

Wamenang lebih lanjut menjelaskan, dalam beberapa tahun belakangan ini, pemerintah semakin serius membendung pengaruh gerakan Islamis yang mempromosikan ideologi politik alternatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keseriusan tersebut tercermin dalam produk kebijakan politik, hukum dan kelembagaan yang didesain sebagai instrumen untuk membatasi ruang gerak kelompok Islamis.

Kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah setidaknya mengejewantah ke dalam lima model. Pertama, pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana tercermin dalam pemberlakuan UU No. 5 Tahun 2018, UU No. 16 Tahun 2017 dan UU No. 19 Tahun 2016.

Kedua, pembentukan lembaga/badan pemerintahan baru, terutama BPIP. Ketiga, pengarusutamaan moderasi beragama. Keempat, pemblokiran situs dan media sosial bermuatan radikal. Kelima, pencabutan izin ormas radikal, sebagaimana tercermin dalam pembubaran HTI dan FPI.

“Kebijakan tersebut cukup efektif untuk membendung pengaruh gerakan Islamis dan berkontribusi pada pelemahan kelompok-kelompok Islamis dalam beberapa tahun belakangan ini,” katanya. (ns)