Sekolah Pascasarjana | Lukita Fahriana, Semantika Penafsiran di Era Modern Mesir
29987
post-template-default,single,single-post,postid-29987,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,side_area_uncovered_from_content,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-13.1.2,qode-theme-bridge,wpb-js-composer js-comp-ver-5.4.5,vc_responsive

Lukita Fahriana, Semantika Penafsiran di Era Modern Mesir

Lukita Fahriana, Semantika Penafsiran di Era Modern Mesir

Auditorium Prof. Dr. Suwito, MA SPs UIN Jakarta, BERITA SEKOLAH: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (SPs UIN Jakarta) menggelar ujian tesis ke-2686 di ruang auditorium Prof. Dr. Suwito, MA pada Senin, 19 Februari 2024.

Kandidat Lukita Fahriana merupakan mahasiswa program magister Pengkajian Islam konsentrasi Tafsir berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul Semantika Penafsiran di Era Modern Mesir: Studi Kasus Pemikiran Karīman Ḥamzah dan Fātin al-Falakī tentang Ayat-Ayat Isu Perempuan dengan predikat sangat memuaskan.

Ujian promosi magister diketuai oleh Wakil Direktur SPs UIN Jakarta, Prof. Dr. Yusuf Rahman, MA, sebagai pembimbing Prof. Kusmana, MA, Ph.D dan Prof. Dr. Hamka Hasan MA, dan diuji oleh Dr. Abdul Moqsith Ghazali, M.Ag.

Penelitian yang dilakukan oleh Lukita Fahrina merupakan penelitian kajian semantik yang dilakukan oleh mufassir perempuan dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan isu-isu perempuan.

Dalam kasus ini kandidat mengangkat tokoh perempuan bernama Karīman Ḥamzah dan Fātin al-Falakī serta mengangkat isu perempuan atas ayat perintah jilbab, khimar (penutup kepala), kesaksian perempuan, dan kasus poligami.

Tesis ini terdapat empat pokok temuan penting. Pertama, Karīman Ḥamzah dalam ayat tentang isu perempuan menemukan adanya 13 makna yakni alternatif, makna kontekstual, makna konotatif, makna emotif, makna gramatikal, makna etimologi, makna istilah, makna afektif, dirāsah mā ḥaul al-qur’ān, semantik historis, makna sempit, sinonim, dan makna denotatif.

Sementara Fātin al-Falakī menemukan 9 makna yakni relasional, makna gramatikal, makna etimologi, makna istilah, makna alternatif, makna denotatif, makna sempit, polisemi, dan sinonim.

Kedua, Karīman Ḥamzah melihat perintah jilbab adalah perintah untuk menggunakan pakaian sopan secara sempurna yang tidak memperlihatkan aurat, bahkan ketika pakaian tersebut tertiup angin begitupun Fātin al-Falakī  yang melihat perintah itu sebagai anjuran bagi setiap mukmin. Ḥamzah menambahkan bahwa memproduksi serta memakai pakaian yang membuka aurat adalah haram.

Khimār (penutup kepala) menurut Karīman Ḥamzah dapat digunakan juga untuk menutupi juyūb. Namun jika tidak terdapat juyūb, maka cukup untuk menutupi rambut saja, karena juyūb bisa ditutupi dengan perantara lain sedangkan Al-Falakī berpendapat  khimār untuk menutup rambut dan leher.

Ḥamzah berpendapat tentang kesaksian satu perempuan bisa setara dengan kesaksian satu laki-laki dengan syarat, sementara Al-Falakī menyatakan bahwa kesaksian satu laki-laki sebanding dengan dua perempuan bukan untuk merendahkan justru bentuk kasih sayang Allah.

Permasalahan poligami, Ḥamzah berpendapat bahwa laki-laki diperbolehkan menikahi wanita satu sampai empat selama bisa berbuat adil dan seorang istri memiliki hak untuk dapat menolak dipoligami. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Al-Falakī karena menurutnya, perkara tersebut sudah menjadi ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Ketiga, terdapat dua faktor yang memengaruhi pemikiran kedua tokoh yakni faktor internal berupa penggunaan semantik itu sendiri dan faktor eksternal berupa latar belakang keluarga yang agamis, perjalanan hidup, pendidikan agama, dan kondisi sosiologis Mesir abad 20-21.

Keempat,  kedua tokoh memiliki cara pandang yang netral dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga tidak mengedepankan rasa keperempuanannya dan tidak mengesampingkan kepentingan laki-laki.(Aisyah/J)

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.