Sekolah Pascasarjana | Di Negara-negara Muslim, Hubungan Agama dan Negara Masih Diperdebatkan
seminar nasional, graduate, spsuinjkt, uinjkt, islam, konstitusi, islam dan konstitusi, mahfud md, jimly assiddiqie, saldi isra, masykuri abdillah, wahiduddin adam
19939
post-template-default,single,single-post,postid-19939,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,side_area_uncovered_from_content,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-13.1.2,qode-theme-bridge,wpb-js-composer js-comp-ver-5.4.5,vc_responsive

Di Negara-negara Muslim, Hubungan Agama dan Negara Masih Diperdebatkan

Di Negara-negara Muslim, Hubungan Agama dan Negara Masih Diperdebatkan

Auditorium SPs UIN Jakarta, BERITA SEKOLAH Online – Sampai kini, negara-negara Muslim masih memperdebatkan tentang hubungan antara agama dan negara. Perdebatan tersebut terjadi dalam hal adopsi negara terhadap ajaran-ajaran Islam, terutama hukum Islam (syari’ah), termasuk di Indonesia dan Tunisia, yang kini menjadi negara Muslim yang paling demokratis.

“Bahkan hal ini juga terjadi di Turki, yang secara konstitusional adalah negara sekuler,” kata Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta Masykuri Abdillah pada Seminar Nasional “Islam dan Konstitusi: Implementasi Ajaran Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia” di Auditorium SPs UIN Jakarta, Kamis (22/11/2018).

Selain Masykuri, narasumber lain adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (2003-2008) Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013) Mohammad Mahfud MD, Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams, Ahli Hukum Tata Negara Saldi Isra, dan mantan Hakim Agung Abdul Gani Abdullah.

Masykuri mengatakan, meskipun Islam membenarkan adanya konstitusi sebagai hukum dasar dalam kehidupan negara, namun dalam kenyataannya hampir semua negara Muslim mengesahkan konstitusi mereka setelah mereka mencapai kemerdekaan pada akhir Perang Dunia II, dan bahkan tidak semua dari mereka pada saat ini memberlakukan konstitusi.

Arab Saudi, misalnya, tidak memiliki konstitusi yang dikenal dalam konsep modern hingga awal 1990-an. Pada tahun 1993 ada reformasi hukum di negara ini dengan diberlakukannya Sistem Dasar Peraturan (Nizâm Asasi), pembentukan Dewan Konsultatif (Majlis Shura) dan Sistem Administrasi Daerah (Nizam al-Muqata`at al-Idariyyah).

Dalam paparannya, Masykuri juga menyebutkan bahwa semua konstitusi di negara-negara Muslim menetapkan badan-badan negara serta otoritas dan tanggung jawab mereka. Dalam hal ini kebanyakan dari mereka menetapkan tiga lembaga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Independensi kekuasaan ini, lanjutnya, dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, delegasi kekuasaan, diimplementasikan terutama di negara-negara Teluk, karena raja atau sultan adalah kekuatan tunggal, tetapi mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada badan-badan yudikatif dan legislatif. Kedua, distribusi kekuasaan, diimplementasikan, antara lain, di Mesir, Suriah dan Pakistan.

“Lalu ketiga, pemisahan kekuasaan, diimplementasikan, antara lain, di Turki, Indonesia dan Malaysia,” jelasnya.

Selain itu, kata dia, dominasi kekuasan eksekutif juga terjadi dalam hubungannya dengan hak warga Negara. Hak tersebut ditetapkan dalam semua konstitusi, sehingga warga di beberapa negara tidak sepenuhnya menikmati kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, sebagian besar negara Muslim dianggap sebagai negara yang kurang demokratis.

Masykuri juga mengatakan, bahwa hampir semua konstitusi menetapkan hak yang sama dari warga negara, meskipun beberapa pengamat menganggap hukum status pribadi sebagai diskriminatif antara pria dan wanita serta hukum tertentu antara Muslim dan non-Muslim, terutama dalam bentuk hak bagi warga negara Muslim untuk menjadi kepala negara.

Menyinggung soal kedudukan Islam dalam konstitusi di negara-negara Muslim, Guru Besar Hukum Islam bidang Fikih Siyasah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta itu menyebutkan beberapa contoh kasus, misalnya Arab Saudi, Iran, Pakistan, dan Afghanistan. Di negara-negara ini, Islam disebut sebagai agama negara, kepala negara harus Muslim, dan syariat adalah hukum negara. Dalam konstitusi di Mesir dan Sutriah, Islam adalah agama negara, kepala negara harus Muslim, dan syariah adalah sumber utama perundang-undangan. Negara lain seperti Tunisia dan Aljazair, juga disebut bahwa Islam adalah agama negara dan kepala negara harus Muslim. Hal yang sama juga terjadi dalam konstitusi di Yordania dan Malaysia,

“Sementara negara-negara Muslim seperti Turki dan Indonesia, Islam tidak disebutkan dalam konstitusi. Namun, konstitusi Indonesia menetapkan bahwa negara didasarkan pada Ketuhananan Yang Maha Esa, sedangkan Turki didasarkan pada sekularisme,” jelasnya.

Menurut Masykuri, klasifikasi di atas menunjukkan bahwa mayoritas negara-negara Muslim tidak sepenuhnya memberlakukan syariah. Kebanyakan dari mereka mengembangkan hukum nasional mereka seperti sistem Barat. Hanya kelompok pertama yang bisa disebut “negara Islam”, seperti Arab Saudi dan Iran, sementara yang lain disebut “negara Muslim”.

Sebagian besar negara Muslim juga memberlakukan hukum keluarga Islam dan banyak dari mereka yang memberlakukan hukum privat lainnya, seperti hukum bisnis Islam. Bahkan di beberapa negara, Syari’ah diterapkan di provinsi-provinsi tertentu, seperti di Aceh (Indonesia) dan Kelantan (Malaysia). (ns)

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.